Oleh: Asghar Saleh
________
BEGITU Menteri Dalam Negeri melepas pernyataan jika Tidore tidak setuju Sofifi dimekarkan – debat panas tentang “Daerah Otonomi Baru” meluncur seperti rudal yang beterbangan selama perang Iran dan Israel. Tak peduli akan jatuh dan meledak di mana. Saling serang dan klaim paling benar jadi algoritma. Orang ramai membaca. Para politisi sibuk menghitung rencana. Penguasa sibuk menanak wacana. Kepentingan jadi magnet utama.
Nama Sofifi – sebuah tempat yang tak ada dalam peta prognostika Maluku Utara tiba-tiba tertulis begitu saja dalam pasal 9 ayat 1 Undang Undang Nomor 46 tahun 1999. Ini Beleid yang diteken oleh Presiden BJ Habibie pada 4 Oktober 1999 setelah mendapatkan persetujuan DPR. Ini “Piagam Kemerdekaan” bagi warga Maluku bagian Utara yang sejak akhir tahun 1950an telah berjuang meminta pisah dari Maluku. Menghendaki kedaulatan penuh untuk sebuah provinsi baru yang bisa mengurus masa depannya sendiri.
“Ibukota provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi”. Tak ada penjelasan lain dalam beleid itu. Sofifi masa itu adalah sebuah desa yang jadi bagian dari kecamatan Oba. Ada di bawah wilayah administratif Kabupaten Halmahera Tengah. Masa itu saya lebih familiar dengan desa pesisir lain di bagian barat daratan besar Halmahera seperti Toniku yang penuh perkebunan warga atau Dodinga yang jadi salah satu pintu masuk. Saya pernah mengikuti rute laut-darat ke Halmahera bagian Timur. Dodinga jadi pelabuhan tempat bersandar motor kayu dari Ternate sebelum lanjut dengan truk berisi beraneka muatan ke Bobane Igo, lalu lanjut dengan motor kayu juga ke Subaim – tempat transmigrasi besar yang baru dibuka awal tahun 1980an.
Transportasi laut-darat ke arah utara Halmahera hanya melewati pelabuhan Sidangoli sebelum melaju ke arah Malifut dan Kao. Ada gunung potong di jalur itu yang saban tahun memakan korban. Nama Sofifi jauh dari percakapan orang ramai. Karena itu, ketika perjuangan pemekaran Maluku Utara memasuki babak semi final, rebutan antara Ternate dan Tidore sangatlah kencang. Padahal menurut Syaiful Bahri Ruray – salah satu tokoh utama yang menggagas pemekaran, nama “Sidangoli” jadi opsi pertama dan dimuat dalam usulan draf UU Pemekaran Maluku Utara tertanggal 27 Oktober 1998.
Selain Sidangoli sebagai calon ibukota, belakangan tim penyusun draf mencantumkan nama “Kao-Malifut” sebagai alternatif kedua untuk ibukota provinsi Maluku Utara. Ini berdasarkan usulan tim pemekaran tahun 1967 yang dipimpin oleh Yakub Mansoer. Dalam dokumen Perppu itu, ada juga nama “Goal” yang direkomendasikan oleh tim dari IPB sebagaimana diceritakan ulang oleh Ketua PDI saat itu, Jumati Hamid. Nama Ternate dan Tidore tak termuat dalam kajian tim karena pertimbangan daya dukung ruang yang tidak lagi memungkinkan. Draf UU itu dipresentasikan di depan Dirjen Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid pada tanggal 9 Januari 1999 atau tepat pada hari terakhir bulan Ramadan tahun itu.
Selain draf UU pemekaran provinsi – Maluku Utara jadi satu satunya daerah yang mengusulkan pemekaran dengan dokumen lengkap – dokumen itu juga memuat skema pemekaran kabupaten dan kota lain di Maluku bagian Utara. Syaiful saat itu meminta pendapat Dirjen Otda, apakah usulan pemekaran dilakukan satu paket atau terpisah antara provinsi dan kabupaten-kota? Ryaas menjawab sebaiknya didahulukan mana yang paling sulit prosesnya. Tim kemudian memutuskan pemekaran propinsi Maluku Utara jadi prioritas dengan tiga daerah admintratif yakni Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Maluku Utara dan Kota Administratif Ternate.
Kabupaten dan Kota lain yang akan dimekarkan untuk melengkapi keberadaan provinsi baru ini akan dilakukan kemudian atau pada tahap kedua. Merasa semua aspirasinya telah diterima dan situasi daerah yang tak lagi kondusif karena konflik telah meluas di wilayah Maluku, tim kemudian memilih kembali ke Ternate. Situasi Maluku – pusat pemerintahan saat itu yang “membara” membuat koordinasi berjalan lambat dan nyaris tanpa progres. Di Ternate, berbagai aksi mendesak pemekaran provinsi baru terus bergulir. Semua komponen bergerak dengan tujuan yang sama.
Pertengahan tahun 1999, sebuah tim taktis dengan misi politik dibentuk oleh Bupati Halmahera Tengah, Abdul Bahar Andili. Ada nama Yamin Waisale dan Nyong Kharie dalam tim itu. PT Aneka Tambang jadi sponsor utama. Mereka bermarkas di hotel Acacia Jakarta. Targetnya adalah membawa nama ibukota yang baru ; Sofifi. Dengan dukungan dana besar, lobi politik tingkat tinggi dimainkan. Nyaris senyap dan sangat sistematis. Tiba-tiba saja nama ibukota provinsi Maluku Utara menafikan usulan sebelumnya dalam draf UU.
Bupati Maluku Utara kala itu, Rusli Andi Atjo mendapat laporan terbatas dan meminta Sudirman Gani untuk menghadang manuver tim bentukan Bahar Andili. Sidangoli adalah pilihan Rusli dan Ia dukung penuh. Namun hingga kedatangan tim Komisi II DPR RI untuk meninjau kesiapan pemekaran, nama Sofifi tak tergantikan. Tiba di Ternate dari Jakarta, tim Komisi II bahkan langsung menuju Sofifi. Sidangoli hanya jadi tempat transit tak lebih dari 10 menit.
Keputusan menetapkan Sofifi sebagai ibukota provinsi Maluku Utara dalam RUU pemekaran memicu gelombang protes dari beberapa kalangan. Kepala Bappeda Maluku, Saleh Latuconsina menilai daerah itu adalah kawasan mangrove dengan kontur tanah hasil endapan yang lumer. Ada dua sungai besar yang membuat laut di pesisirnya berpotensi mengalami pendangkalan dalam periode waktu yang panjang. Dan karena itu, menjadi sulit untuk membangun pelabuhan laut besar yang menjadi “salah satu syarat” pengembangan sebuah kota. Penolakan juga disampaikan oleh ahli foto udara Unhas, Prof. Roland Barkey yang menyebut kontur tanah Sofifi berada pada patahan yang goyah. Berbahaya untuk dikembangkan. Sedangkan sebuah tim dari ITB menilai kawasan ini tak adaptif untuk bangunan perkotaan. Butuh konstruksi cakar ayam dengan biaya besar jika ingin membangun kotanya.
Pilihan menempatkan pusat pemerintahan di kawasan bukit Gosale yang hijau juga berpotensi menggerus 30 persen sumber air tanah yang jadi kebutuhan warga. Dari sisi sosial ekonomi, tim dari UGM yang dipimpin oleh Prof. Purwo Santoso dan Cornelis Lay menghitung potensi pendapatan daerah yang mengancam Tidore di masa depan. Pemisahan Sofifi dari Tidore secara langsung akan “membunuh” Tidore sebagai “ibunya”. Pendapatan Tidore akan jauh berkurang. Sayangnya hasil kajian akademis ini dikalahkan oleh kepentingan politik. Bisa jadi ini juga bagian dari kompromi atau semacam jalan tengah untuk mencari titik imbang.
Tahun itu, situasi Maluku yang tak menentu berbias ke banyak aspek. Kondisi negara juga belum sepenuhnya stabil setelah desakan mahasiswa membuat Soeharto lengser. Desas-desus menyebar dan membuat semuanya tak pasti. Intrik politik sangat dominan. Purbasyangka berkelindan bebas dengan doktrin isyu yang diarahkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan. Sebulan jelang Presiden Habibie meneken UU Pemekaran Maluku Utara, tiga isyu utama langsung membawa Maluku Utara ke titik didih paling panas. Pertama ; tentang nama propinsi. Nama Maluku Utara diinginkan oleh banyak kalangan tetapi sebagian yang lain mendorong nama “Moloku Kie Raha” berdasarkan alasan historis dan budaya. Kedua ; di mana letak ibukota propinsi baru ini? Ternate dan Tidore punya alasan dengan latar belakang “permusuhan” berabad sebelumnya. Dan Ketiga ; Siapa Gubernur Maluku Utara? Tokoh adat, agama dan politisi saling sikut.
Tiga isyu ini menjadi salah satu “bara api” yang kemudian menyulut konflik di Maluku Utara tepat dua bulan setelah provinsi baru diresmikan. Penjabat Gubernur Surasmin yang datang dengan tugas negara untuk mempercepat penataan administrasi, keuangan dan pelayanan publik justru terjebak dalam api kerusuhan yang bermula dengan beredarnya selebaran “Sosol Berdarah”. Sampai saat ini tak ada yang tahu siapa pembuat selebaran itu. Namun kebencian dan amarah terlanjur membakar habis akal sehat. Konflik menyebar dengan sangat cepat. Maluku Utara nyaris lumpuh. Tak ada gerak pemerintahan dan pembangunan. Orang ramai juga lupa tentang ibukota provinsi. Tentang siapa Gubernur. Tentang nama yang pas untuk daerah baru ini.
Eskalasi konflik yang terus membesar dan menghilangkan nyawa ribuan warga membuat Presiden Gus Dur memberlakukan kondisi darurat sipil di Maluku dan Maluku Utara. Keppres nomor 88 tahun 2000 itu berlaku sejak 26 Juni tahun yang sama. Penjabat Gubernur Abdul Muhyie Effendi jadi Penguasa Darurat Sipil di daerah dengan wewenang yang tak terbatas. Militer dikerahkan dalam jumlah besar. Sweeping senjata dilakukan dimana-mana. Rekonsiliasi jadi program prioritas. Perdamaian jadi tujuan utama. Tahun 2002, Thaib Armaiyn terpilih sebagai Gubernur Maluku Utara setelah melewati kisruh politik sekitar dua tahun. Setahun kemudian, status darurat sipil dicabut dan Maluku Utara perlahan dipulihkan.
Di tahun 2003, dengan kondisi sosial ekonomi dan politik yang mulai membaik, skema kedua pemekaran sebagaimana saran Ryaas Rasyid mulai dijalankan. Tim pemekaran dibentuk dengan ketua Hamit Usman. Loby politik dijalankan. Rekomendasi dari DPRD dan persetujuan kepala daerah induk jadi bekal utama tim ke Jakarta. Berunding dengan pemerintah pusat. Lalu lahirlah enam daerah otonomi baru. Kabupaten Maluku Utara dimekarkan jadi Kabupaten Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula. Kabupaten induk Maluku Utara berganti nama menjadi Halmahera Barat dan pindah ibukotanya ke Jailolo. Ternate jadi kota otonom.
Kabupaten Halmahera Tengah juga mengalami pembagian wilayah. Induk kabupaten berpindah ke daratan Halmahera dengan ibukota Weda, ada penambahan Kabupaten Halmahera Timur dan wilayah Tidore sendiri dijadikan sebuah Kota dengan wilayah yang makin kecil – pulau Tidore, pulau Maitara, pulau Mare dan sebagian daratan bernama Oba. Penduduk berkurang. Sumber pendapatan utama dari sektor pertambangan juga menghilang. Kondisi ini berbeda dengan pemekaran kabupaten Maluku Utara yang memiliki wilayah sangat besar membentang dari ujung Utara hingga bagian Selatan. Tak ada risiko sosial dan ekonomi.
Dua tahun setelah jadi kota otonom, pendapatan Tidore masih bergantung pada kabupaten induk Halmahera Tengah. DAU belum sepenuhnya dikelola sendiri. Baru pada tahun 2005, APBD Tidore dikelola secara mandiri. Besarannya waktu itu sekitar 200 milyar. Jumlah yang terbilang kecil untuk mengurus Tidore dan daratan Oba. Boleh dikata – Tidore yang memiliki sejarah panjang sebagai negara berdaulat pada masa lalu kini seperti “Ibu” yang dimiskinkan secara sengaja. Terus diamputasi tak hanya dari sisi pemerintahan dan kuasa wilayah tapi juga dari aspek historis.
Orang ramai lupa jika Tidore punya kebesaran sejarah yang menguasai tanah, air, sungai, batu dan semua yang ada di atasnya. Tidore sudah ada sejak 917 tahun lalu saat kolano Sjahjati mendirikan sebuah kerajaan di kaki gunung Kie Matubu. Setelah beberapa Kolano memimpin negeri, tahun 1495 saat Ciriliyati berkuasa, Ia mengubah konstitusi dasar Kerajaan menjadi Kesultanan. Dirinya masuk Islam setelah dibimbing seorang ulama bernama Syech Mansur dan berganti nama menjadi Jamaluddin. Tidore makin berkembang dengan menerima banyak “orang luar” datang berniaga.
Pengganti Jamaluddin yakni Sultan Al Mansur bahkan secara terbuka menerima kedatangan armada Spanyol yang dipimpin oleh Juan Sebastian Delcano. Ini sisa dari armada pimpinan Magelhaens yang diperintahkan Raja Spanyol untuk menemukan rempah-rempah. Interaksi Tidore dan Spanyol berlangsung dalam diplomasi yang egaliter. Tanggal 11 Desember 1521, armada Spanyol meninggalkan Tidore dengan membawa 27,3 ton cengkih dan rempah lainnya. Ini ekspor pertama negara Tidore ke Spanyol yang mengawali kerjasama perdagangan internasional saat itu.
Tidore sejak itu jadi pusat peradaban dunia bersama Ternate. Posisi strategis yang memancing hasrat Portugis, Belanda dan bahkan Inggris untuk menguasainya. Tapi tanah para Paladin tak pernah sekalipun terjajah. Satu abad setelah Al Mansur, muncul pemimpin demokratis yang bersahaja dan melakukan banyak reformasi pemerintahan. Sultan Saifuddin membangun kerjasama dengan VOC tapi tak pernah menyerahkan daulat Tidore kepada bangsa asing. Ia jadi salah satu Sultan dengan sejarah besar. Potret Saifuddin bahkan dilukis VOC sebagai tanda hormat dan kini ada di museum Krakow – jauh di ujung timur Polandia.
Satu abad setelah itu, saat Belanda datang dan mencoba merampas tanah Tidore, Nuku Kaicil Paparangan mengobarkan perlawanan. Ia rela meninggalkan Tidore dan menyusun siasat untuk merebut kembali. Persekutuan besar dibuat Nuku mulai dari Halmahera, Seram hingga Papua. Nuku juga ”bekerja sama” dengan Inggris. 12 April 1797, armada perang besar yang dipimpin Nuku merebut Tidore. Ia dinobatkan sebagai Sultan Tidore. Dua tahun setelah berkuasa, Nuku memimpin armada perang berkekuatan besar menyerbu Ternate. Belanda kalah dan melarikan diri ke Ambon. Sultan Nuku jadi satu-satunya pemimpin di Nusantara yang sukses mengusir Belanda. Dalam kuasanya, dunia Maluku kembali disatukan tanpa campur tangan bangsa lain.
Tidore berdaulat penuh sebagai sebuah negara merdeka – mereplikasi kembali cita-cita para kolano sebelumnya. Kebesaran Tidore kembali terlihat saat Republik berjuang mengembalikan Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Presiden Soekarno boleh saja berpidato memaklumatkan perang terhadap Belanda. Perang merebut tanah Papua. Tetapi kunci diplomasi politik dan intervensi militer ada pada sosok Sultan Zainal Abidin Sjah. Ia menerima permintaan Presiden untuk menjadi Gubernur Irian Barat karena sangat paham jika tanah Papua adalah bagian dari daulat Tidore.
Ketika Presiden Soekarno menamai provinsi Irian Barat yang masih disengketakan, orang-orang Tidore menambahkan nama itu dengan “Provinsi Perjuangan Irian Barat”. Kata “perjuangan” menjustifikasi sebuah pesan heroisme yang menyatukan ; dari Tidore-lah, Irian Barat akan direbut dan dijadikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia. Saya selalu bergetar saat membaca ulang “idin” Sultan Zainal Abidin Sjah ; “Tanah, batu, pohon yang ada di atas tanah ini termasuk nyawa kami, kami sedia berikan untuk pemerintah. Untuk Irian Barat dapat segera kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”.
Bayangkan kontribusi Tidore untuk negara ini.
Bayangkan ketika ditawari untuk menjadi negara sendiri atau menjadi bagian dari Belanda dalam perundingan-perundingan yang menguji nasionalisme, Tidore dengan kesadaran penuh memilih bergabung sebagai bagian dari Indonesia. Menyerahkan semua daulat yang dimiliki tanpa syarat karena meyakini akan masa depan yang lebih baik. Tapi apa balasannya? Nama Zainal Abidin Sjah bahkan tak diakui negara sebagai Pahlawan Nasional. Tidore tak lebih dari sepotong kuasa yang dikendalikan Jakarta lewat pemerintahan dan alokasi dana negara yang terbatas. Tidore selalu jadi titik nol.
Di lanskap inilah, saya merasa Tidore selalu mengalami ketidakadilan. Termasuk dalam isyu tentang Sofifi. Banyak debat dan argumentasi yang berseliweran di media sosial. Tapi sangat sedikit yang melihat isyu ini tanpa kepentingan apapun. Semuanya serba menjebak. Sikap pemerintah juga selalu ambivalen bahkan sejak UU ditetapkan 26 tahun lalu. Memang setelah Ternate yang jadi ibukota sementara sebagaimana penegasan pasal 20 UU pemekaran provinsi Maluku Utara mengembalikan mandat itu kepada Sofifi pada 4 Agustus 2010, kawasan itu mulai ditata. Gedung-gedung perkantoran dibangun. Jalan-jalan utama dibuka. Pintu masuk Halmahera dialihkan dari Sidangoli ke Sofifi. Orang ramai melintas.
Namun tak ada kebijakan parsial antara pemerintahan provinsi dan Tidore sebagai pemilik wilayah. Sofifi – nama kelurahan dengan 3000an penduduk diglorifikasikan sebagai sebuah kota. Ada plang nama besar yang dibuat meski secara administratif belum ada penetapan status. Tak ada yang namanya “kota” dengan struktur pemerintahan dan batas wilayah yang jelas. Semua hanya imajinasi politik. Apalagi semua pelayanan dasar masih menjadi tanggung jawab pemerintah Kota Tidore. Warga pun terdata sebagai penduduk dengan KTP Tidore.
Data kependudukan tahun 2024 mencatat penduduk Kota Tidore Kepulauan – tambahan “kepulauan” menunjukkan wilayah administratif yang terdiri dari beberapa pulau berpenduduk – berjumlah 121.952. Hampir setengah dari jumlah itu ada di daratan Oba yang mendiami empat kecamatan dengan total penduduk mencapai 55.068. Andai empat kecamatan ini dimekarkan jadi ”Kota” lepas dari Tidore maka dipastikan setengah dari DAU Tidore akan menguap. Padahal selama ini Tidore “menggendong” kehidupan dua wilayah besar. Tidore dan Ibukota provinsi. Mengapa tak ada perlakuan khusus untuk peran “menggendong” ini?
Andai Sofifi dimekarkan jadi sebuah “Kota” berapa wilayah yang akan diambil dari Tidore? Semuanya atau hanya kecamatan Oba Utara misalnya. Data kependudukan menyebut wilayah Oba Utara yang membentang dari Kaiyasa hingga Kusu – tempat semua aktivitas pemerintahan provinsi – hanya didiami oleh 22.368 penduduk. Mungkinkah jadi sebuah “Kota”. Mengapa tak ada solusi untuk menjadikan Sofifi sebagai “Daerah Khusus Ibukota”. Atau mengapa tak mendorong Sofifi menjadi daerah yang dikelola sebuah “Badan Otorita” yang bertanggung jawab terhadap pembangunan infrastruktur di wilayah itu.
Saya selalu mengawali isyu tentang Sofifi dengan kata ”andai” karena hingga saat ini Inpres nomor 6 tahun 2013 yang menjadi dasar moratorium pembentukan daerah otonomi baru belum dicabut. Inpres ini diusulkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi karena kondisi ekonomi negara yang goyah. Banyak utang pemerintah dan pembentukan DOB hanya menambah daftar pengeluaran negara. 12 tahun setelah Inpres itu, ekonomi kita belum juga pulih. Hutang masih menumpuk. Efisiensi jadi “kewajiban” yang berlaku di semua tingkatan pemerintahan.
Benar ada pemekaran provinsi Papua tetapi menurut saya keputusan itu lebih banyak diambil karena pertimbangan politik dan keamanan yang bersifat strategis. Mendekatkan tangan Jakarta untuk mengurus tanah yang selalu bergolak itu. Tanah Papua juga memiliki sumber daya alam yang melimpah. Dengan begitu, sumber pendapatan provinsi baru itu tak sepenuhnya menunggu kucuran dana dari Jakarta. Andai Sofifi jadi “Kota” apa yang diandalkan untuk hidup?
Pemekaran sebuah wilayah baru juga memiliki peraturan yang mesti dilewati sesuai prosedur. Dalam PP nomor 78 tahun 2007 yang mengatur Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah dan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa proses itu harus melalui usulan politik-administratif dari daerah induk. Artinya untuk Sofifi wajib ada keputusan DPRD Tidore dan Walikota yang mendukung usulan dimaksud. Pemekaran wilayah juga harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Jika syarat terpenuhi dan sudah ada usulan, barulah DPRD provinsi dan Gubernur menerbitkan persetujuan. Jangan dibulak-balik prosesnya.
Saya percaya perdebatan tentang Sofifi adalah metronom untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kepentingan apapun mestinya dilepas. Selalu ada ruang untuk kompromi sepanjang tak ada pemaksaan. Jika kepentingan elit lebih mendominasi dan merusak semua aspek normatif dan kultural, maka kita wajib melawan. Melawan semua kebohongan dalam narasi-narasi manipulatif yang membawa nama rakyat tetapi sejatinya hanya menguntungkan kelompok tertentu. Meski untuk yang melawan itu – kita kerap dilabeli sebagai penjahat sebagaimana kata komedian Amerika, Bill Murray ; “Jika kita berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan. Jika pemerintah yang berbohong, mereka menyebutnya dengan politik”. (*)
Tinggalkan Balasan