Tandaseru — Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Maluku Utara menggelar launching dan bedah buku Relasi Kuasa: Politik Identitas dan Modal Sosial karya M. Rahmi Husen, Ketua DPD Demokrat Malut, di Bela Hotel Ternate, Kamis (26/6/2025).

Buku ini mengupas tuntas relasi antara politik identitas, kuasa, dan modal sosial dalam konteks pemilihan kepala daerah di Maluku Utara, khususnya Kepulauan Sula dan Halmahera Selatan. Diskusi menghadirkan berbagai pandangan kritis dari tokoh-tokoh daerah dan akademisi lintas kampus.

Acara dihadiri oleh Bupati Halmahera Barat, Wakil Bupati Pulau Morotai, dan Wakil Bupati Pulau Taliabu. Dari kalangan akademisi, hadir perwakilan dari Universitas Khairun Ternate, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, dan Universitas Terbuka.

Dalam pembukaan, Bupati Halmahera Barat James Uang menyampaikan apresiasi atas terbitnya buku tersebut. Ia menyebut buku ini penting sebagai refleksi atas realitas politik lokal.

“Buku ini sangat menarik untuk melihat identitas masyarakat Maluku Utara yang beragam. Dalam konteks Pilgub kemarin, di mana kelompok minoritas justru terpilih, ini menjadi studi kasus penting,” ujarnya.

Moderator diskusi, Ali Lating, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), menyampaikan bahwa buku ini menyuguhkan pembacaan mendalam tentang politik identitas. Objek studi mencakup Pilkada di Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula.

Dr. Muhlis Hafel, pembedah pertama yang juga Direktur Universitas Terbuka, menekankan pentingnya buku ini sebagai sumber refleksi bagi para pengambil kebijakan di daerah.

“Identitas digunakan sebagai alat dalam pergerakan politik. Buku ini menjadi tesis dan sekaligus antitesis terhadap praktik tersebut,” kata Muhlis.

Pembedah kedua, Agus Salim Bujang, mengangkat isu distorsi identitas dalam politik lokal. Menurutnya, identitas kini tak lagi steril, melainkan diproduksi secara masif untuk kepentingan kekuasaan.

“Saya sering bingung menjawab ketika ditanya asal-usul. Kadang bikin kepala besar. Identitas hari ini adalah konstruksi. Di Pilkada Taliabu, misalnya, keluarga Mus bertarung dan juga yang menang. Ini adalah bentuk metamorfosis identitas yang dikritik Marx,” jelas Agus.

Agus juga menyinggung tesis mahasiswa S2 Politik UGM yang menyebut bahwa demokrasi dan partai politik tidak diciptakan untuk kepentingan individu, melainkan kepentingan kolektif.

“Masyarakat itu adalah organisme hidup,” tegasnya.

Prof. Gufran Ali Ibrahim, pembedah ketiga, mengulas aspek linguistik dalam buku tersebut. Ia menyoroti penggunaan bahasa eksklusif dalam politik lokal, seperti kutipan “Harus pilih, kitorang pe orang” yang muncul dalam wawancara di halaman 73–74 buku.

Menurut Gufran, bahasa semacam itu mencerminkan bagaimana identitas dibentuk secara sosial.

“Bahasa adalah cermin pikiran, seperti dikatakan Noam Chomsky. Penggunaan kata ‘kita’ dan ‘torang’ bisa mereduksi identitas menjadi alat politik,” katanya.

Ia menutup dengan harapan agar Pilkada mendatang mengusung pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif.

“Slogan seperti ‘anak kampung’ seharusnya berevolusi, menjadi simbol kombinasi identitas yang membentuk dua kelompok mayoritas yang saling menghormati,” ujarnya.

Menutup diskusi, penulis buku, Dr. Rahmi Husen, menyampaikan tiga catatan penting untuk para peserta dan pemateri.

Pertama, ia berharap buku ini mendapat kritik akademik sebagai bahan penguatan isi. Kedua, ia mengungkapkan pengalamannya selama tiga periode menjadi anggota DPRD, di mana budaya literasi politik masih rendah.

“Banyak anggota DPRD yang alergi terhadap buku dan diskusi. Mereka lebih nyaman berada di bawah kekuasaan eksekutif yang lemah secara intelektual,” katanya.

Sementara untuk ketiga, Rahmi berharap buku ini menjadi referensi penting bagi politisi, akademisi, dan pemangku kepentingan di Maluku Utara.

“Ini adalah sumbangsih pemikiran untuk memperkuat demokrasi lokal yang berkeadaban,” pungkasnya.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Ika Fuji Rahayu
Reporter