Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
Merindukan cita-rasa sagu kasbi, sama artinya merindukan cita rasa awal, ketika menu lainnya belum familiar, memberi kecukupan gizi, hingga menjadi gaya hidup. Dia adalah identitas paling primordial.
MALAM kemarin, kami iseng mengobrol tentang pangan lokal (local food) Tidore, sagu kasbi. Kebetulan ada karib yang datang dari Jakarta karena urusan keluarga. Dia berkisah, betapa produk olahan ini, jadi menu paling spesial dan istimewa di sana, di komunitas Tidore, hingga Maluku Utara dirantau. Keluarga saya di Jayapura juga sama, begitu merindukan produk olahan ini, dan beberapa jenis ikan olahan tradisional. Ini gejala umum pada hampir semua komunitas, di mana-mana. Merindukan cita-rasa sagu kasbi, sama artinya merindukan cita rasa awal, ketika menu lainnya belum familiar, memberi kecukupan gizi, hingga menjadi gaya hidup. Dia adalah identitas paling primordial.
Dulu semasa masih kuliah di Manado, produk olahan yang dikenal dengan sagu kasbi ini, memberi banyak “jalan keluar” dalam situasi kritis. Karib saya yang sekosan di bilangan Bahu saat itu, Rusli Kompeni, saat ini ASN di Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, memberi predikat mewah pada sagu kasbi, sebagai P3K, pertolongan pertama pada kecelakaan. Tetapi maksudnya lain, sagu kasbi bisa memberi “pertolongan pertama”, ketika belum ada nasi, dan pesanan lauk. Sedangkan “pada kecelakaan”, menunjuk kemungkinan kambuhnya maag, jenis penyakit “paling familiar” dengan mahasiswa di rantauan.
Di kisah lain, ada pesan menggetarkan jiwa, dan rada pilu yang dituturkan teman saya. Ini terjadi saat daerah ini dilanda konflik horisontal dulu, yang mungkin bisa diverifikasi lagi. Ketika terusir, dan berlari meninggalkan kampung halamannya di sebuah dusun di kecamatan Oba Utara, ada getaran suara lirih dan bikin iba, dari komunitas tertentu itu, yang telah beranak pinak mendiami wilayah itu. Pesan lirih itu kurang lebih, rumah kami bisa dibakar, harta lain bisa diambil, tetapi jangan merusak rumpun pohon sagu. Seolah memberi isyarat, bahwa saatnya mereka akan kembali. Dan faktanya, itu terjadi di sekian tahun kemudian. Betapa sagu adalah identitas, harga diri, dan nilai hidup yang diperjuangkan nyaris sepanjang hayatnya.
Provinsi Papua, Maluku, dan Riau adalah daerah penghasil sagu besar di Indonesia. Mengutip beberapa sumber, Riau memiliki luas perkebunan sagu sekitar 61.689 hektar, dan Kepulauan Meranti menyumbang sekitar 90 persen dari total produksi sagu di Riau. Mie Sagu adalah kuliner khas Riau yang cukup dikenal. Papua punya lebih kurang 5, 2 hingga 5,5 juta hektar lahan sagu, dan merupakan bagian terbesar dari total lahan sagu di dunia. Ke Maluku, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) terkenal sebagai penghasil sagu terbanyak di provinsi itu, sekitar 14 ton sagu setiap tahunnya. Dukungan terbesar untuk program ketahanan pangan yang ditelorkan presiden Prabowo Subianto, yang masif dilaksanakan di banyak daerah saat ini, bisa datang dari wilayah-wilayah ini.
Ketika menyebut sagu, bisa berarti rumpun pohon sagu dengan berbagai produk olahannya. Juga bisa berarti produk olahan berbahan dasar ubi kayu atau singkong. Ubi kayu adalah alternatif diversifikasi pangan bagi daerah tertentu yang tak terlalu menyukai beras. Dia memiliki kadar karbohidrat tinggi, serat tinggi, indeks glikemik rendah, dan bebas gluten.
Sagu Jai di Simpang Jalan
Di Maluku Utara, khususnya Tidore, ubi kayu memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, karena punya variabel kesesuaian lahan dan iklim. Salah satu produk olahan ubi kayu yang paling dikenal dengan sagu kasbi, adalah sagu Jai. Tak perlu menjelaskan detailnya, orang Maluku Utara relatif akrab dengan nama ini. Sagu Jai begitu familiar, dan punya brand sejak lama, produk sebuah perkampungan agak ke pegunungan, di Tidore Utara. Saya beberapa tahun terakhir, sering menyambangi perkampungan ini. Tak perlu melacak akar historinya di masa para sultan, masa ketika aspek pemikiran filosofis dan visioner, berbuah kerangka ekonomi brilian, yang menjadi dasar menetapkan wilayah penyanggah pangan, mendukung ketersediaan dan ketahanan pangan di masa itu. Ketika memperbincangkan, hingga merefleksikan tentang pesan paling hakiki dari momentum perayaan Hari Jadi Tidore di setiap 12 April, sejatinya kita sedang mempersoalkan, hingga menggugat sebuah fakta, “nasib sial” sagu Jai hari ini.
Apa sesungguhnya nasib sial itu? Di cerita semalam, saya memberi ilustrasi begini: kita membayangkan sedang menuju ke Tidore, dari arah Bastiong, Ternate. Geser sedikit pandangan ke ketinggian, ke arah pegunungan. Ada kampung Jai di sana. Deretan pemandangan dan hamparan yang menghijau dari kejauhan, akan mengesankan kesuburan, kesejahteraan, hingga optimisme. Tapi coba sambangi dan liat fakta di Pasar Rakyat Gosalaha di Tidore. Sagu jai dijual seharga 5 lempeng Rp 20 ribu, 1 lempeng dihargai Rp 4.000. “Lempeng”, atau “keta”, menunjukkan ukuran satuannya. Juga, coba iseng membayangkan kadar gizinya, disandingkan dengan tahu atau tempe seharga Rp 4.000. Memang cita rasa, hingga corak identitas yang telah lama terbentuk, bukan semata-mata soal gizi. Tetapi kita juga tak bisa diam membiarkan, atau bahkan tak ambil pusing terhadap eksistensi pangan lokal kita, tergilas kualitas kebijakan yang keliru dan tak memihak. Apa kualitas kebijakan yang tak memihak itu, fakta bahwa bahan baku sagu jai, berupa ubi kayu (kasbi) telah lama dibeli dari pulau Halmahera. Variabel kesesuaian lahan dan iklim, pasti berpengaruh pada kualitas, hingga cita rasa khasnya. Dan jika yang tersisa satu-satunya, hanyalah variabel teknik pengolahan, masihkah kita berbangga, hingga mengklaim sagu jai sebagai identitas dan brand, karena cerita di masa lalu yang kesohor itu?
Ada fakta yang paradoks, bahan bakunya dibeli dari pulau sebelah, padahal kita tak kekurangan lahan. Ada cukup potensi dan hamparan lahan yang luas dan subur. Ini fakta juga. Mungkinkah karena kualitas kebijakan yang tak mengurai masalah, bisa dicermatinya pada keberpihakan rencana dan anggaran di postur APBD.
Jika soal bahan baku produk olahan yang jadi brand dan identitas saja tak bisa diurai, bagaimana dengan jenis komoditas penyanggah pangan lokal lainnya. Padahal komoditas ubi kayu itu, nyaris tak butuh perlakuan apa-apa. Cukup batangnya dibuang sekehendak saja, pasti tumbuh.
Bahwa ada ketergantungan komoditas pangan lokal dari luar daerah yang luar biasa, fakta itu menari-nari, berkelindan di pelupuk mata, di pasar rakyat kita, di setiap saat, dan di sepanjang waktu.
Menyudahi cerita lepas malam itu, ada “kesimpulan sementara” yang kocak, mengesankan kebuntuan, dan pasrah pada fakta. Begini, untuk komoditas perikanan dan hasil pertanian, kita beli kontan saja dari Manado. Anggarannya dari APBD untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi selama setahun. Kalau ditanya penjual, kita jawab saja, perangkat daerah yang mengurusi soal ini, sudah dibubarkan. Kalau ditanya lagi, kenapa bisa begitu, jawabannya karena mereka tak mampu lagi berpikir, menyebabkan daerah merugi. Rencana program dan anggaran yang disodorkan setiap tahun, output-nya tak bisa mengurai aspek satuan jumlah, jenis, kualitas, hingga harga. Konstan dan tak pernah berubah, apapun isyarat langitnya, cuaca. Jadi mendingan dibeli kontan saja.
Narasi sagu Jai, local food di simpang jalan, hendak meletakkan ulang kerangka logika, bahwa menikmati cita rasa sagu Jai yang renyah, kelenturan tekstur, dan sensasi mengunyahnya yang khas itu. Belum lagi, bila berpadu dengan seduhan teh panas nan manis, setara merenungi nostalgi, identitas awal yang paling primordial, ekspresi atas kesohornya para pendahulu, meletakan kerangka filosofis pangan lokal kita. Dari lempeng demi lempeng sagu jai itu, identitas, kebanggaan, kelenturan tekstur, dan cita rasa, berpadu di sana. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan