Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
________
Memang, pemimpin daerah, ataupun orang-orang yang merencanakan sesuatu dengan gagasan dan filosofi yang kuat, senantiasa mencerahkan dan menginspirasi.
SIANG tadi, di tiga WAG bersamaan, kami mempercakapkan esensi ibadah kurban. Maklum, jelang Idul Adha. Saya mengelaborasi sebuah kutipan dari sebuah grup diskusi keagamaan, Ada tiga jenis kurban. Pertama, kurban syariat, menyembelih hewan. Kedua, kurban tarekat, menyembelih sifat hewani dalam diri (tamak, rakus, loba, suka mengambil hak orang lain, tidak menghargai kebaikan orang, dan-lain-lain). Ketiga, kurban hakikat, menyembelih mindset, sifat, dan perilaku syirik.
Banyak yang menanggapinya, dari yang serius, hingga saling canda. Seorang karib berkomentar iseng, kalau kurban ma’rifat itu bagaimana. Saya menanggapi iseng juga, hati yang senantiasa berkurban. Tanggapan lain di salah satu WAG, kurban di Idul Adha itu syariat Tuhan yang tidak bisa di”adendum”, jadi laksanakan saja kalau mampu, kalau belum jangan, karena tidak ada paksaan. Hakikatnya tergantung manusianya. Saya menanggapinya, mindset berpikir hakikat itu penting diingatkan terus-menerus, membiasakan orang berpikir tentang pesan-pesan pokok, makna-makna, dan lain-lain. Ini karena mindset syariat itu cenderung melebar dan keluar dari panduan khaidah agama. Karena hewan kurban cuma dilihat dagingnya semata, maka orang sering bertengkar hanya gara-gara tidak kebagian daging kurban, misalnya. Padahal bertengkar itu sudah perilaku yang menyalahi prinsip ibadah kurban. Juga kasus pengelola masjid yang menyarankan dengan setengah memaksa, jamaah bisa mengambil sebagian saldo simpanannya di bank untuk ibadah kurban. Saya berpandangan, jangan mengejar syariat kurbannya dengan cara menyelisih prinsip dan hakikatnya, memaksa orang untuk berkurban. Saya menyambung, masjid itu media paling operasional membumikan praktik ajaran agama yang benar. Pengelola masjid tidak bisa sekadar pensiunan ASN yang punya banyak waktu, atau orang yang tak punya pekerjaan tetap. Mestinya, ada program satu masjid satu dai, untuk membenahi cara berpikir, hingga perilaku beragama umat. Tidak bisa diserahkan sepenuhnya menjadi urusan masing-masing, karena banyak umat akan berpotensi sesat di jalan yg benar, dengan emoji sedang senyum.
Karib Guntur Alting, dosen UMJ, menyodorkan perspektif Denny JA, lengkap dengan link berita penanggapnya, TAFSIR YANG BERBEDA SOAL KURBAN HEWAN DI ERA ANIMAL RIGHTS–Review Buku “Hewan dan Ritus Agama” (2025), Akan Menguatkah Tafsir Kurban yang Tak Lagi Menyembelih Hewan?
Menyambungnya, ini komentar karib saya, terkait beberapa pernyataan dengan logika serupa di WAG Fordista, Islam liberal: Hati yg berjilbab lebih utama dari tubuh yg berjilbab. Dan, Paulus tentang sunat: Yang terpenting adalah sunat di hati. Saya tak terlalu memahami logika keduanya, soal pandangan Paulus.
Perspektif Denny JA ini juga ditanggapi seseorang, teridentifikasi sebagai pejabat tinggi di lingkungan Pemerintahan Provinsi Maluku Utara, dengan komentar yang menarik, berkurban adalah ibadah yang telah ditetapkan, hewan yang dijadikan sebagai kurban yang dagingnya dibagikan kepada kaum duafa dimasalahkan, tetapi Israel yang membunuh bayi dan anak-anak secara brutal, tetapi tidak ada fatwanya. Hewan kurban diwajibkan pemotongannya secara benar sehingga tidak menyakitkan, tetapi terhadap genosida bangsa Palestina, ditembak, dibom, bahkan dinuklir, juga dengan diembargo bantuan pangan sehingga mereka terancam kematian massal. Mari berkurban sesuai syar’i dan tuntunan, jangan terkecoh ajakan yang menyesatkan.
Perspektifnya, cukup sampai di sini. Yang mau saya tulis adalah lanjutan diskusi di siang tadi itu. Ini karena materinya sudah mulai merambah mindset, wawasan dan pengetahuan agama dari pengelola tempat ibadah, terkhusus masjid. Ada “ide mewah”, bahwa pegawai Kementerian Agama itu mestinya lima tahun dulu magangnya di masjid, baru bisa masuk kantor, supaya masjid-masjid diatur secara sistematis dan tidak jadi alat kepentingan politik. Juga, atas dasar fakta cerita seorang karib tentang anjuran menyisihkan sekian persen dari saldo tabungan jamah di bank, untuk kepentingan ibadah kurban tadi. Juga berbagai fakta, akibat lain dalam praktik berkurban yang sering kita alami. Saya pernah menulisnya beberapa tahun lalu, sebagai ungkapan rasa resah.
Di buku kecil, Muhammad Kasuba, Sang Inspirator Pembangunan, yang ditulis karib Daud Djubedi, SH, LLM, saya menemukan kontekstualisasi perbincangan tadi. Karib ini berkisah tentang sebab awal, ide dan kebijakan sang Bupati Muhammad Kasuba mengontrak dai.
Dalam sebuah kunjungan kerja di periode pertama sang bupati, ke sebuah desa yang tak jauh dari ibukota kabupaten Halmahera Selatan. Nama desanya Nyonyifi, Kecamatan Bacan Timur. Ditemui fakta, jelang waktu salat Jumat, dan tak ada orang di masjid, masjid terpalang pintunya, dan teras masjid penuh kotoran hewan. Anggota rombongan diperintahkan menjemput warga desa, yang seratus persennya muslim. Didapati informasi bahwa, warga yang lelaki ada di kebun, dan satu-satunya warga yang sering jadi khatib Jumat, sedang berurusan keluarga di Ternate. Anggota rombongan berbalik arah, menuju kebun warga, mengajak mereka kembali dulu untuk salat Jumat, dan itu terlaksana.
Yang menarik dari kisah penulisnya adalah pesan sang bupati hebat ini. Menurutnya, jika beliau meninggal nanti, akan ditanya Tuhan, apakah sebagai pemimpin daerah, dirinya pernah memerintahkan rakyatnya untuk menunaikan salat atau tidak. Pengalaman menyedihkan ini, memotivasi sang bupati menelorkan kebijakan mengontrak dai, dan menyebarkannya ke 30 kecamatan dalam wilayah yang dipimpinnya. Karena wilayah yang dipimpinnya terlampau luas, para dai tadi mewakili dirinya selaku kepala daerah, untuk menyerukan pesan kebaikan dan menjauh dari keburukan. Kewenangannya didelegasikan kepada para dai itu. Demikian argumen sang bupati.
Saya berdecak kagum membaca kisah ini, sama kagumnya ketika mendengar gagasan Anies Baswedan, semasa masih menjadi gubernur DKI Jakarta, ada “kelonggaran” nilai nominal Pajak Bumi dan Bangunan [PBB] untuk semua objek pajak, tak mesti pada batas nilai objek pajak tertentu, pembedaan yang ekstrem antara konglomerat dan “konglomelarat”. Alasannya, tanah itu milik Tuhan. Jujur, saya tercengang ketika mendengar alasan ini pertama kali. Kita mungkin lupa, bahwa kepala daerah itu dipilih, untuk jadi “pencari makan” bagi segenap warganya dari berbagai latar macam-macam. Tak bisa juga, ada “komersialisasi” berlebih atas ciptaan-Nya (bumi, tanah) sebagai sumber primer pendapatan daerah dalam mengurusi daerah dan warganya.
Memang, pemimpin daerah, ataupun orang-orang yang merencanakan sesuatu dengan gagasan dan filosofi yang kuat, senantiasa mencerahkan dan menginspirasi.
Idealnya, kita bisa berpikir untuk mengelaborasi kebijakan mengontrak da’i begini, agar pemahaman dan pengetahuan agama umat, terkhusus pengelola tempat ibadah bisa lebih maju dan berkembang. Karena sekali lagi, mereka adalah garda paling depan dan operasional, mengarahkan umat.
Kita tak bisa membiarkan pengelola tempat ibadah, khususnya masjid, “mengarahkan” jamahnya dengan pemahaman yang terbatas, apalagi menyelisih hukum syariat. Tak cukup untuk bertahan dengan “dai Google”, memahami pesan agama secara sepotong-sepotong. Banyak kasus begini terjadi di banyak tempat, khususnya di wilayah pelosok dan terisolir. Juga termasuk dalam contoh pemahaman dan praktik dalam urusan ibadah kurban. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan