Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
________
“…tontonan bukan sekadar gambar atau media massa, melainkan hubungan sosial antar orang-orang yang dimediasi oleh citra…”
(Guv.y Debord, 1967/1994:12)
MEMAHAMI realitas masyarakat saat ini, yang lebih terpaku dalam tontonan media, kita kembali disadarkan oleh Guy Debord melalui karyanya tentang masyarakat tontonan.
Guy Debord, seorang pemikir Marxis dan tokoh utama dalam gerakan “Situationist International”, memperkenalkan sebuah konsep “masyarakat tontonan” dalam karya monumentalnya The Society of the Spectacle (La Societe du spectacle) (1967). Dalam buku tersebut, Debord mengkritik secara tajam bentuk masyarakat modern kapitalis yang menurutnya telah bertransformasi menjadi sebuah “spektakel”, suatu dunia yang dikendalikan oleh citra, bukan oleh realitas atau relasi sosial yang otentik.
Konsep ini sangat relevan untuk memahami kondisi masyarakat kontemporer Saat ini yang terjebak dalam dominasi media dan representasi visual.
Seorang tokoh mudah dipoles dengan visual untuk menjadi hebat, dengan menyembunyikan sisi lemahnya.
Menurut Debord, “tontonan bukan sekadar sekumpulan gambar atau media massa, melainkan “sebuah hubungan sosial antara orang-orang yang dimediasi oleh citra.”
(Debord, 1967/1994 : 12).
Dengan kata lain, dalam masyarakat tontonan, hubungan manusia yang sebenarnya tergantikan oleh relasi melalui representasi. Kehidupan sehari-hari menjadi semacam pertunjukan permanen di mana individu kehilangan keautentikan dan hanya menjadi penonton dari kenyataannya sendiri.
Tontonan merupakan bentuk paling lanjut dari reifikasi, di mana tidak hanya barang-barang yang mengalami fetisisasi seperti dalam analisis Marx tentang komoditas, tetapi juga pengalaman hidup itu sendiri. Debord menyebut bahwa dalam masyarakat tontonan, “segala yang secara langsung dialami telah menjelma menjadi representasi” (Debord, 1994 :12).
Ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak lagi hanya mengeksploitasi tenaga kerja dan sumber daya, tetapi juga kesadaran manusia.
Salah satu aspek penting dari teori Debord adalah bagaimana tontonan menciptakan alienasi baru. Jika Marx berbicara tentang alienasi buruh dari hasil kerjanya, Debord memperluas konsep ini dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat tontonan, manusia teralienasi dari kehidupan otentik mereka sendiri. Mereka tidak hidup dalam dunia nyata, melainkan dalam dunia citra yang dikonstruksi oleh media, iklan, dan institusi budaya kapitalistik (Debord, 1994 : 22–23).
Debord juga menekankan peran media massa dalam memperkuat dominasi tontonan. Ia melihat televisi, film, dan bahkan fotografi sebagai instrumen yang mengubah cara manusia memahami realitas. Dan kini, kehadiran media sosial makin menabalkan peran visual dalam representasi itu.
Media bukan lagi sekadar perantara informasi, tetapi telah menjadi pusat dari bagaimana kenyataan dibentuk dan ditafsirkan. “Tontonan merupakan perwujudan kapital yang mencapai tingkat akumulasi sedemikian sehingga menjadi citra” (Debord, 1994 : 24).
Dalam kalimat ini, Debord menyatakan bahwa kapital tidak lagi hadir sebagai benda atau nilai tukar, tetapi sebagai simbol dan narasi yang terus direproduksi secara visual.
Dalam kerangka pemikiran Debord, tontonan juga bersifat politis. Ia tidak netral atau tidak berbahaya. Sebaliknya, tontonan berfungsi sebagai alat dominasi ideologis. Dengan memonopoli cara melihat dan memahami dunia, tontonan meredam kemungkinan emansipasi. Masyarakat dibuat pasif, konsumtif, dan tidak kritis.
Debord menggambarkan kondisi ini sebagai “ketidakaktifan yang dibuat aktif” (Debord, 1994 : 30).
Individu merasa aktif karena terus terlibat dengan tontonan (menonton, membagikan, berkomentar), tetapi sebenarnya mereka sedang diposisikan secara pasif dan tidak berdaya.
Pemikiran Debord sangat visioner. Ia menulis sebelum kemunculan internet dan media sosial, namun teorinya semakin relevan hari ini. Platform seperti Instagram, TikTok, atau YouTube merupakan bentuk konkret dari masyarakat tontonan di era digital. Kehidupan tidak hanya ditampilkan, tetapi dikurasi, dimonetisasi, dan dikomodifikasi dalam bentuk konten. Dalam konteks ini, masyarakat tidak hanya menonton, tetapi juga secara aktif menjadi bagian dari tontonan itu sendiri — sebuah perkembangan yang mungkin tidak sepenuhnya dibayangkan oleh Debord, tetapi sesuai dengan arah analisisnya.
Namun, kritik terhadap Debord juga muncul. Beberapa pemikir postmodern menilai bahwa analisis Debord terlalu deterministik dan kurang memberikan ruang bagi resistensi atau interpretasi alternatif terhadap tontonan. Misalnya, John Fiske dalam karyanya, “Understanding Popular Culture” (1989) berpendapat, bahwa budaya populer tidak selalu bersifat hegemonik. Konsumen dapat memberikan makna sendiri dan bahkan melawan dominasi representasi.
Meskipun demikian, kekuatan analisis Debord terletak pada kesadarannya yang tajam bahwa kapitalisme tidak hanya merampas secara material, tetapi juga secara simbolik dan afektif. Dalam dunia di mana realitas dikalahkan oleh citra, dan eksistensi manusia direduksi menjadi penonton dari narasi yang dikonstruksi oleh kekuatan ekonomi dan media, pemikiran Debord tetap menjadi alat kritik yang penting.
Akhirnya, masyarakat tontonan bukan hanya sebuah konsep filosofis, tetapi juga diagnosis sosial atas penyakit zaman modern. Di tengah ledakan informasi visual dan penetrasi media ke dalam seluruh aspek kehidupan, ajakan Debord untuk “mengembalikan kehidupan kepada kesadaran” (Debord, 1994 : 218) merupakan seruan untuk pembebasan: dari pasif menjadi aktif, dari ilusi menuju realitas. (*)
Tinggalkan Balasan