Oleh: Asmar Hi. Daud
Pernyataan Sekretaris Daerah Kota Ternate, Rizal Marsaoly, dalam forum Musrenbang yang digelar di Auditorium Bappelitbangda, 15 Mei 2025, kembali membuka babak baru perdebatan publik soal reklamasi.
Rencana pengembangan pesisir selatan yang mencakup wilayah Fitu, Gambesi, Sasa, hingga Jambula, disebut telah memiliki dokumen DED, AMDAL, dan KKPRL. Namun bagi kalangan akademisi, ini bukan hanya soal kelengkapan dokumen, melainkan soal masa depan ekologis pulau kecil yang rentan seperti Ternate.
Respon cepat muncul dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Khairun. Dalam diskusi akademik setelah pernyataan Sekkot, para dosen mempertanyakan banyak hal, dari minimnya pelibatan institusi ilmiah hingga pendekatan teknokratis yang cenderung mengabaikan risiko ekologis dan sosial.
Ilmu dan Ambisi Proyek
“Apakah Universitas Khairun pernah dilibatkan dalam proses ini?” tanya Dr. Nurhalis, ahli oseanografi. Pertanyaan itu menggambarkan keheranan dan kekecewaan para akademisi terhadap pendekatan pembangunan yang berjalan seperti jalan satu arah, tanpa partisipasi luas, apalagi dari kalangan ilmuwan.
Kritik keras datang dari Dr. Mufti Abd. Murhum yang mengingatkan pentingnya mengintegrasikan pendekatan Manajemen Sumber Daya Pesisir dan Ilmu Kelautan dalam setiap wacana reklamasi. Sebab, dalam konteks pulau kecil seperti Ternate, risiko ekologis jauh lebih tinggi dibanding nilai tambah ekonomi yang dijanjikan.
“Ini bukan hanya soal menimbun laut dan membangun infrastruktur,” kata Dr. Halikuddin Umasangaji. “Pulau Ternate secara geologi tidak layak untuk proyek reklamasi skala besar. Ini bukan Belanda.”
Pulau Kecil, Risiko Besar
Pulau Ternate memiliki karakteristik fisik yang ekstrem. Di darat, ia diapit oleh ancaman letusan Gunung Gamalama, longsor, dan banjir bandang. Sementara di laut, ancaman tsunami, abrasi, hingga gelombang ekstrem selalu mengintai. Menambah beban fisik melalui reklamasi bisa mempercepat sedimentasi, memperparah banjir rob, bahkan memicu land subsidence atau penurunan tanah dalam jangka panjang.
“Ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang adalah paru-paru laut. Mereka tak tergantikan,” tegas Halikuddin. Ketika reklamasi mengorbankan ekosistem ini, maka kita bukan hanya merusak sistem alami pelindung pantai, tapi juga mematikan sumber ekonomi nelayan.
FPIK “Kami Tak Akan Diam”
Di tengah absennya pelibatan perguruan tinggi, FPIK Universitas Khairun menyatakan sikap. Mereka menolak diam terhadap proyek yang dinilai tidak berpihak pada keberlanjutan. FPIK, yang memiliki Pusat Kajian Kebaharian, menilai proyek reklamasi harus ditinjau ulang secara menyeluruh, bukan sekadar memperdebatkan dokumen perizinan.
“FPIK itu penjaga marwah pesisir dan laut. Bagaimana kita biarkan reklamasi?” ujar Prof. Dr. Aris, seraya menyerukan pembentukan tim akademik untuk mengkaji dan bila perlu menolak rencana tersebut.
Senada, Dr. Ridwan Lessy mengingatkan bahwa ruang hidup di Ternate amat terbatas. Ancaman dari darat dan laut datang bersamaan. Maka, kehati-hatian adalah keniscayaan. “Jangan bermain-main dengan proyek berisiko tinggi di tengah kesiapsiagaan adaptasi yang masih sangat minim,” ujarnya.
Reklamasi dan Ilusi Pertumbuhan
Ada pula kritik terhadap cara berpikir pembangunan yang terlampau berbasis proyek dan prestise. Padahal, dalam prinsip hidrodinamika, menambah massa fisik di pesisir akan mempengaruhi arus laut, meningkatkan risiko banjir rob, bahkan bisa memicu kenaikan muka air laut di wilayah lain seperti Pulau Maitara dan Tidore.
Secara ekologis, beban tambahan dari reklamasi bisa menciptakan bencana baru yang tidak terlihat hari ini, tetapi mengintai dalam jangka panjang.
Masa Lalu, Pilihan Bijak & Ajakan Terbuka
Memang, ide pengembangan Ternate Selatan bukan hal baru. Gagasan ini pernah disuarakan mendiang Wali Kota Samsyir Andili. Tapi konteks hari ini telah berubah. Kita hidup di tengah krisis iklim, ketimpangan wilayah, dan ancaman ekologis yang semakin kompleks.
Pendekatan pembangunan tidak bisa lagi bersandar pada cara berpikir lama yang hanya mengejar fisik dan angka investasi. Ada banyak ruang daratan di wilayah selatan kota yang masih bisa dikembangkan tanpa harus mengorbankan laut.
Kami tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus mengedepankan keadilan ekologis dan sosial. Sebagaimana disampaikan Dr. Mufti, jika reklamasi tetap dipilih, maka skalanya harus dikaji ulang secara ketat dan ilmiah. Jangan sampai kerusakan lingkungan dibayar mahal demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Kami menyerukan kepada Pemerintah Kota Ternate untuk membuka ruang dialog. Jangan jadikan kritik sebagai ancaman, tetapi sebagai kontribusi. Fakultas kami siap menjadi mitra kritis dalam menyusun model pembangunan wilayah yang lebih adil, bijaksana, dan berkelanjutan.
Kota ini tidak harus memilih antara tumbuh atau lestari. Ternate bisa mengupayakan keduanya asal pembangunan didasarkan pada ilmu pengetahuan, bukan semata ambisi.
Tinggalkan Balasan