Tandaseru — Nurmiyati Bagit (56 tahun), korban kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di kota Ternate, meminta keadilan agar pelaku segera mempertanggungjawabkan perbuatannya. Korban meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Ternate hingga Pengadilan Negeri (PN) Ternate segera melakukan penahanan terhadap terdakwa perkara lalu lintas berinisial NMS yang juga oknum karyawan bandara Sultan Baabullah Ternate itu.
Terdakwa NMS sejak proses hukum di Satlantas Polres Ternate hingga pelimpahan berkas ke Kejari dan Pengadilan Negeri (PN) Ternate belum kunjung ditahan. Sementara korban dalam perkara ini mengalami patah tangan tulang lengan kanan, sehingga dilakukan tindakan operasi bahkan saat ini cacat.
Korban melalui kuasa hukumnya, M Bahtiar Husni, mengatakan kecelakaan lalu lintas di lampu merah Kelurahan Salero, Kecamatan Ternate Utara, itu terjadi pada 12 Juli 2024 sekitar pukul 11.00 WIT. Di mana, saat itu pelaku diproses hukum oleh Satlantas Polres Ternate dan berkasnya telah diserahkan ke Kejari hingga PN Ternate. Perkara tersebut telah dilakukan persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan pada Rabu pekan lalu. Kemudian akan dilanjutkan pekan depan pada Rabu (26/2) dengan agenda pemeriksaan saksi.
“Namun yang menjadi kekecewaan klien kami itu terdakwa sampai saat ini tak kunjung ditahan, ada apa dengan proses hukum ini. Karena terlapor/terdakwa setelah kejadian itu mengatakan kepada korban mau bertanggung jawab, namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban,” ujar Bahtiar, Sabtu (21/2).
Setelah kejadian itu, korban dibawa ke Rumah Sakit Tentara (RST) Ternate. Namun saat itu setelah pelaku mendengar biaya operasi yang diminta rumah sakit terbilang cukup besar, sehingga pelaku keberatan dan mengeluarkan korban dari rumah sakit, hingga meminta korban melakukan pengobatan dengan pijat tradisional.
Selang beberapa pekan kemudian, kata Bahtiar, tangan kanan korban mengalami pembengkakan cukup serius, karena terjadi gumpalan-gumpalan darah akibat benturan keras saat terjadi kecelakan.
“Melihat situasi yang tidak kondusif lagi kepada korban, sehingga anak korban menghubungi pelaku namun tidak ada respons. Sehingga korban dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto di Jakarta untuk dilakukan tindakan medis,” jelasnya.
Saat itu dokter menyatakan tindakan cepat harus dibawa ke rumah sakit tepat. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin tangan korban bisa diamputasi. Atas kejadian ini, korban merasa dirugikan dan meminta pertanggungjawaban.
“Namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban dari pelaku. Bahkan, dalam proses hukum ini walaupun berjalan sebagaimana mestinya, namun tersangka/terdakwa saat ini tidak ditahan. Menurut kami kuasa hukum dalam proses ini, ada tebang pilih dalam perkara ini. Kenapa, kalau terkait dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terkait pasal 310 ayat (3) UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan sudah jelas bersangkutan bisa dilakukan penahanan,” tegasnya.
“Namun anehnya dari tingkat kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan itu tidak dilakukan penahanan. Bahkan sampai saat ini juga tidak ada proses ganti kerugian biaya yang dikeluarkan oleh korban. Semetara terdakwa juga tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan,” sambung Direktur YLBH Maluku Utara itu.
Sebab itu, pihaknya berharap agar majelis hakim dalam perkara ini yang sudah menyidangkan dapat menahan terdakwa, kalau tidak ada tebang pilih dalam proses hukum ini.
“Karena korban tidak menerima baik perkara ini. Yang jelas korban sudah dirugikan, kemudian tidak ada proses ganti kerugian,” ujarnya.
Akibat insiden ini, korban yang bekerja sebagai karyawan kantin di Hypermart tidak bisa lagi bekerja untuk menafkahi keluarganya sampai saat ini, karena tangan kanannya tidak bisa lagi melakukan aktivitas. Apalagi saat ini korban sudah mengalami cacat akibat kelalaian pelaku.
“Suami dari korban ini hanya tukang ojek. Sehingga itu, kami sangat berharap ada keadilan dalam proses hukum ini, agar dapat memberikan keadilan kepada korban,” harapnya.
Korban mengaku, saat dirawat di RST, tindakan operasi dituntut untuk dirujuk ke RSU Dharma Ibu. Saat hendak melakukan tindakan, pihak rumah sakit meminta biaya pengobatan sebesar Rp 35 juta sebelum tindakan operasi.
“Untuk total biaya kalau sampai selesai sekitar Rp 70 jutaan. Padahal awalnya pelaku sudah suruh masuk di rumah sakit, setelah itu dihubungi untuk tindakan dari dokter tapi pelaku tidak mau, sehingga saya dikeluarkan dan tidak jadi dilakukan tindakan operasi,” ujar Nurmiyati.
“Setelah itu, anak saya sendiri yang bawa saya untuk operasi di Jakarta. Saat itu, kata dokter kalau terlambat sudah tidak mau tangani lagi. Untung cepat, kalau lewat dua hari waktu itu tangan diamputasi. Sedangkan biaya operasinya Rp 96 juta, kalau ditambah dengan biaya balik kontrol dan sebagainya sudah Rp 100 juta lebih,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan