Dalam khasanah kepemimpinan Islam di masa lalu, jejak warisan terluhur yang jadi legacy di hampir setiap periode dan paling monumental adalah kemampuan berlaku adil sang pemimpin umat. Dia tidak saja memberi jaminan rasa adil pemimpin dalam berbagai perkara bagi mayoritas komunitas Islam yang dipimpin tetapi juga sekaligus memberi jaminan rasa aman bagi kaum minoritas yang bukan muslim.
Di sini, di negara ini, di banyak tempat, kita menemukan fakta-fakta pengakuan warisan kepemimpinan yang luhur dan jadi pengingat, dari rentetan rekam jejaknya. Tetapi juga, tak sedikit yang mewariskan peristiwa, hingga janji-janji politik yang tak tertunai, yang kalau bukan karena terikat periodesasi, mungkin telah dipaksa untuk berhenti karena lebih menonjol mudaratnya. Idealnya, jika tak bisa melanjutkan legacy kepemimpinan sebelumnya, minimal merawatnya dan tak mengubahnya menjadi petaka baru.
Di pekan-pekan ini, publik kita sedang di suguhi aneka janji berkualitas hingga “jualan kecap” murahan tapi menghipnotis. Gong pemilihan kepala daerah langsung, memang sedang ditabuh. Rekam jejak kepemimpinan sebelumnya, jika relevan, itu menjadi variabel paling penting yang sulit dibohongi karena di era ini, jejak digitalnya dengan mudah bisa terlacak. Minimal, ini bisa menjadi panduan calon pemilih untuk obsesi kita di masa depan.
Di media sosial, saya mengamati banyak potongan video pendek bersiliweran tentang janji calon pemimpin daerah di banyak tempat. Baik yang punya pengalaman pernah melakukannya maupun yang masih benar-benar menebar janji murni 24 karat. Bisa saja tak penting hal begini dalam kontestasi politik. Tetapi satu hal yang pasti bahwa jaminan hingga ekspektasi kita tentang kondisi kehidupan yang sejahtera sebagai muara kontestasi ini adalah sebuah situasi dan kondisi yang bisa dirasakan oleh warga pemilih secara fisikal dan langsung. Dia bukan mimpi. Di titik ini, rekam jejak menjadi hal yang penting.
“Janji” serigala di hadapan jutaan domba tadi, bisa dipastikan itu berbohong karena daging domba adalah makanan kesukaan dan memberi energi utama bagi sang penguasa belantara itu, bukan sayur. Tapi kita, para pemimpin, pasti bukan serigala dalam pengertian fisikal. Juga, warga kita bukan domba. Tetapi kita berpotensi jadi “serigala” yang memangsa warga kita sendiri, memangsa hari depan anak-cucu kita, sebagai akibat kebijakannya sebagai pemimpin yang tak tahu kemana arahnya kelak, jika terpilih. Bentuknya bisa macam-macam: pendidikan dan kesehatan yang tak bisa gratis, kesempatan kerja yang sulit, daya beli warga yang lemah, kondisi pasar yang lesu hingga konsolidasi dan integrasi sosial kemasyarakatan yang tak cukup memberi jaminan ketenangan hidup. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan