Petahana atau incumbent berarti yang sedang memegang jabatan, pemegang jabatan. Arti lain, berkewajiban atau memegang suatu jabatan. Istilah ini sangat populer ketika seorang pejabat publik berkeinginan untuk kedua kalinya atau kesekian kalinya memegang jabatan yang sama. Biasanya pada proses politik istilah ini begitu mengental dan menguat. Ada hal penting dari seorang petahana, ketika kesekian kalinya berada pada ranah jabatan yang dipegangnya.
Ketika seseorang yang hendak maju menjadi pejabat publik (baik gubernur/bupati/wali kota/wakil rakyat/rektor, dan sebagainya) pertama kalinya, pasti akan berkisah tentang kondisi kekayaan alam, potensi pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial-budaya penduduk dan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan wilayah/institusi tersebut. Hanya sebatas itu. Kemudian data-data tersebut dikampanyekan, dijual dijadikan ‘keramat sakti’ untuk publik.
Lalu program yang ada hanya sebatas “melihat” apa yang harus dilakukan dengan keinginannya. Pejabat publik kita ibarat sinterklas. Tak lebih dari itu. Bahkan, lebih banyak program tak menyentuh harapan dan kebutuhan rakyat. Indikatornya jelas, belanja rutin lebih besar prosentasenya ketimbang belanja publik. Banyak hal yang tidak mampu ‘dibaca’ dan ‘dirasakan’ pejabat apa yang dialami masyarakat yang dipimpinnya. Pejabat kerap membuat jarak dengan warganya. Peresmian program misalnya, lebih bersifat seremoni. Lalu para pejabat dibawahnya, mencari muka, lebih suka bergerombol ketika gubernur/bupati/walikota turun ke tengah masyarakat. Jadilah kemudian, rakyat hanya sebagai penonton, karena kebutuhan masyarakat hanya menjadi ‘pesta’ para elit birokrasi, acapkali pengurus partai politik pun ikut di dalamnya.
Lebih menyakitkan lagi, apa yang dirasakan masyarakat di daerahnya, sama sekali tak bisa dirasakan dan dipahami pejabat publik. Mereka justru lebih senang berada di luar daerah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Lalu, dari tempat yang dipenuhi fasilitas serba ada, mereka bicara soal keadaan masyarakatnya yang jauh dari realitas. Masyarakatnya dinilai serba baik, sejahtera dan bahagia.
Anehnya, ketika masa jabatannya hampir selesai, dan punya keinginan (lagi) untuk maju memegang jabatan yang sama, mulailah menunjukkan angka-angka statistik yang telah dicapai dari apa yang telah dikampanyekan pada periode lalu. Dengan menambah sedikit program ‘kamuflase’ mulailah digencarkan, bahwa masyarakatnya telah menikmati pembangunan yang sebenarnya.
Dua Kali
Setelah pejabat publik memegang jabatan yang sama untuk kedua kalinya, daerah dan masyarakat bukan makin dipahami oleh pejabat tersebut. Sebaliknya ada jarak yang panjang antara pemerintah dan masyarakat. Bahkan jarak itu makin membatasi. Indikasinya, beberapa daerah (di Maluku Utara) pernah masuk sebagai kategori wilayah miskin dan tertinggal, padahal potensi alam begitu melimpah.
Adakah yang salah dari pejabat publik kita yang telah memegang amanah dua kali itu? Mestinya, setelah dua kali memegang jabatan seperti gubernur/ bupati/ walikota/ wakil rakyat pada daerah yang sama, pejabat publik itu harus lebih paham secara mendalam apa yang menjadi masalah mendasar dari wilayah kekuasaannya. Bukan membuat jarak dan bahkan meninggalkan rakyatnya dalam kebimbangan dan kebingungan.
Tinggalkan Balasan