Modouw (2013) berpendapat disahkannya Otsus berarti terdapat sejumlah prinsip penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan yaitu menghormati hak-hak dasar penduduk asli Papua, yaitu hak atas rasa keadilan, kesejahteraan, perlakuan yang sama dalam layanan umum maupun di depan hukum, dan penghargaan hak-hak asasinya sebagai manusia, termasuk pula hak masyarakat adat Papua atas pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua. Semua penduduk Papua yang selama ini terisolasi dan jauh dari fasilitas pendidikan, perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui berbagai program pendidikan.
Selain aturan UU Otsus, dalam Inpres No. 9 Tahun 2020 juga telah diatur tentang beberapa tambahan seperti, peningkatan pemerataan akses layanan pendidikan di semua jenjang dan percepatan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun antara lain dengan bantuan pendidikan untuk anak usia sekolah, penerapan sekolah berpola asrama, sekolah satu atap, sekolah alam, dan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi geografis wilayah, kebutuhan masyarakat dan daerah, terutama di daerah terpencil, pedalaman, pegunungan, kepulauan, dan perbatasan negara; kolaborasi dengan lembaga keagamaan dan lembaga sosial keagamaan dalam pelayanan pendidikan yang merata dan berkualitas melalui peningkatan tata kelola pembangunan pendidikan; bersama-sama dengan pemerintah daerah, dunia usaha dan industri mengembangkan pendidikan vokasi berkualitas sesuai dengan sektor prioritas di daerah; memberi kesempatan yang lebih luas untuk menempuh Afirmasi Pendidikan Menengah dan Tinggi bagi SDM Unggul Papua.
Kunci dari permasalahan di Papua terletak pada pembangunan sumber daya manusia. Rendahnya kualitas sumber daya manusia Papua adalah hal yang sering didengar di tingkat lokal Papua dan nasional. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dan kualitas hidup masyarakat yang relatif rendah akibat kurangnya pelayanan kesehatan bermutu, masalah perekonomian, serta kurangnya infrastruktur yang kurang menjangkau hingga ke pelosok-pelosok.
Meskipun pendidikan sangatlah penting tetapi tidak banyak masyarakat Papua yang memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan layak khususnya bagi masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman. Otonomi khusus diukur dari seberapa jauh masyarakat Papua di kawasan-kawasan terpencil yang terisolir mampu meningkatkan sumber daya manusia karena tersedianya pelayanan pendidikan yang bermutu. Pendidikan di Papua ibaratkan bayi yang baru lahir dan dipaksakan untuk berlari. Kurikulum yang terus berganti mengikuti perkembangan zaman ini sangat bertolak belakang dengan kondisi ekonomi dan geografis di Papua. Ini juga menjadi salah satu pengahabat pendidikan di Papua yang tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Dr. Ir. Agus Sumule, pakar pendidikan Universitas Negeri Papua dalam laporan data BPS Papua dalam angka 2020, data BPS Papua Barat dalam angka tahun 2020 dan Neraca pendidikan daerah kemendikbudristek mengungkapkan terdapat hampir 500 ribu orang, tepatnya 476.534 orang – belum termasuk peserta didik PAUD dan Sekolah Luar Biasa. Angka ini menunjukkan, bahwa 34,58% dari PUS di Tanah Papua tidak bersekolah. PUS (usia 7-24 tahun) di Provinsi Papua sebanyak 1.053.944 orang, dan di Provinsi Papua Barat 324.112 orang. Hasil ini tentunya, sangat miris melihat pendidikan di Papua bila dibandingkan dengan besarnya anggaran dana Otsus yang diluncurkan pemerintah untuk membangun sumber daya manusia Papua.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan, Sepanjang 2020, Papua mendapat alokasi anggaran pendidikan Rp1,62 triliun dari total dana Otsus Papua sebesar Rp5,29 triliun. Sementara Papua Barat menerima sekitar Rp 470 miliar dari total dana Otsus Papua Barat Rp1,7 triliun. Selama ini, kata Nadiem, pihaknya hanya menerima laporan alokasi tentang anggaran pendidikan dari dana otsus yang digelontorkan ke dua provinsi paling timur di Indonesia itu. Namun, tak pernah ada laporan terkait rincian dan detail penggunaan dana otsus bidang pendidikan tersebut.
Buruknya tata kelola dan pengawasan dari penegak hukum terhadap pengelolaan dana otonomi khusus menyebabkan penyaluran dana itu belum tepat sasaran, terutama untuk pembangunan sumber daya manusia. Meskipun, pemerintah daerah seringkali melakukan Memorandum of Understanding (MoU) atau kesepakatan bersama dengan berbagai instansi yang ada. Namun, dalam pengawasan terhadap penggunaan anggaran Otsus masih sangat lemah dan terkesan terjadi pembiaran. Hal ini sangat mempengaruh pembangunan sumber daya manusia Papua di sektor pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. (*)
Tinggalkan Balasan