Semisalnya di Halmahera Selatan didominasi oleh PKS, Halmahera Utara oleh Golkar, Halmahera Barat oleh Demokrat, Tidore Kepulauan oleh PDIP dan kabupaten/kota lain yang menunjukkan adanya intervensi kekuasaan birokrasi.
Ketiga, kejahatan penyelenggara pemilu pada tahapan pungut-hitung dengan melakukan pergeseran angka-angka perolehan suara calon legislatif dan partai politik sehingga terjadi selisih yang sangat signifikan, antara C hasil (tingkat TPS), D hasil (pleno rekap kecamatan) dan DA hasil (pleno kabupaten).
Tiga hal di atas menjadi acuan kongkrit, yang paling tidak dapat dipercaya untuk mengukur kualitas demokrasi kita di Maluku Utara. Maka dengan mulusnya praktik buruk yang dipertontonkan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Maluku Utara mengalami degradasi nilai demokrasi.
Tidak hanya mengalami degradasi, bahkan jika kita memiliki ukuran real berdasarkan kriteria indeks demokrasi, saya meyakininya kita akan mendapatkan skor 1 dari target pencapaian nilai 0-10. Artinya, wajah demokrasi kita hari ini mungkin yang paling buruk dari 38 Provinsi di Indonesia.
Demokrasi Buruk, Kualitas DPRD?
Kita baru saja melewati proses pemilihan umum pada beberapa hari kemarin, di mana rakyat Indonesia dan khususnya di Maluku Utara memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, perwakilan DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi hingga DPRD tingkat kabupaten (disebut pesta demokrasi).
Tahapan panjang yang cukup menguras energi dan waktu itu, berhasil membentuk paradigma negatif rakyat terhadap kehidupan demokrasi di Maluku Utara, yang kemudian dipercaya akan memberi dampak buruk pada kinerja lembaga DPRD dalam mewakili aspirasi masyarakat.
Memang secara tahapan, setiap anggota DPRD terpilih yang lahir melalui pemilu 2024, baru akan dilantik pada September mendatang. Namun membayangkan mereka yang lahir dari tumpuan intervensi kekuasaan, permainan money politic serta dampak dari kecurangan penyelenggara, akan mengakibatkan krisis moral manakala opsi diberikan rakyat, proyek, atau birokrasi?
Tinggalkan Balasan