Sementara itu partai politik sebagai pilar demokrasi juga belum bisa mandiri untuk membiayai dirinya. walaupun secara resmi menurut undang-undang sumber dana mereka peroleh dari iuran atau sumbangan dari anggota dan perseorangan, badan usaha maupun subsidi dari negara namun itu jauh dari cukup untuk pembiayaan partai. Lalu dari mana tambahan dana yang lain? Tentunya bantuan dari pemodal.
Partai politik masih mengandalkan pembiayaan dari luar. Padahal selama partai politik masih tergantung dengan pembiayaan dari luar maka ini sangat berbahaya. Mengapa?
Mari kita lihat apa yang dikatakan oleh Ketua MPR yang juga pernah menjadi calon Ketua Umum Golkar, Bambang soesatyo. Dia membuka rahasia yang sangat besar, yang sebenarnya bukan rahasia karena baunya sudah lama dicium hanya tidak bisa dibuktikan.
Untuk menguasai partai politik, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 triliun, artinya dengan jumlah parpol yang lolos ambang batas parlemen hanya berjumlah 9, maka untuk menguasai parlemen secara penuh hanya butuh modal Rp 9 triliun. Jumlahnya jauh lebih sedikit, karena untuk menguasai parlemen tak perlu semua partai harus dibeli. Cukup dua pertiga suara saja. Pilih 3-4 parpol dengan suara tertinggi. Jadi modalnya kira-kira hanya Rp 5-6 triliun mereka sudah bisa menguasai Indonesia. Dengan menguasai parpol, menguasai parlemen, maka para pemodal bisa menentukan siapa yang menjadi Presiden, Menteri, Panglima TNI, Ketua KPK, Kapolri, Gubernur, Bupati, Walikota dan berbagai jabatan publik lainnya. Tentu saja termasuk pimpinan MPR, DPR dan DPD.
(https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/290570/ketua-mpr-paling-mahal-rp1-triliun-untuk-kuasai-parpol).
Hanya dengan uang Rp 6 sampai Rp 9 triliun mereka menguasai Indonesia. Sangat murah. Lalu siapa pemilik modal itu? Ya tidak jauh-jauh, mereka adalah orang-orang terkaya di Indonesia. Yang kita khawatirkan kalau mereka juga sebenarnya adalah kepanjangan tangan dari pemilik korporasi global, maka apa jadinya negara ini.
Kedua, sistem pemilihan langsung yang kita terapkan saat ini hanya akan menyuburkan politik dinasti. Presiden dan kepala daerah yang sudah berkuasa dapat terus menumpuk sumber daya dari kekayaan hingga mesin politiknya guna melanggengkan kekuasaan untuk penerusnya. Seorang kepala daerah yang sudah dua kali menjabat biasanya akan menunjuk lagi dari keluarganya sendiri. Padahal pada dasarnya dia ingin mempertahankan kekuasaan dengan menjadikan keluarga sendiri sebagai kepanjangan tangannya.
Untuk pilkada serentak pada tahun 2024 ini kita menyaksikan kembali politik dinasti marak. kebanyakan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah kembali didominasi keluarga dan sanak saudara. Kepala daerah yang sementara menjabat atau telah menjabat dua periode akan memunculkan istri, anak, menantu, keponakan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah baik untuk pemilihan gubernur maupun bupati atau wali kota. Banyak kejadian dalam pilkada di mana setelah sang ayah menyelesaikan tugasnya sebagai wali kota atau bupati dan kembali maju sebagai calon gubernur, maka sang anak mengisi jabatan yang ditinggalkan anaknya. Kejadian seperti ini hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Apakah politik dinasti salah? Tentu tidak, karena konstitusi menjamin hak setiap orang untuk berpolitik baik untuk memilih maupun dipilih termasuk untuk mencalonkan diri menjadi kepala dan wakil kepala daerah.
Namun ini adalah sebuah ironi. Ketika kita berusaha untuk menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sekarang justru kolusi dan nepotisme kita legalkan dalam undang-undang dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada istri, anak, keponakan untuk menggantikan suami, bapak dan paman sebagai kepala daerah. Demokrasi dengan pilkada langsung yang kita harapkan memberikan kesempatan kepada semua orang untuk berkompetisi menjadi kepala daerah justru memberikan ruang untuk memonopoli kekuasaan hanya dari kalangan keluarga tertentu.
Politik dinasti rentan untuk terjadinya korupsi. Lihat saja misalnya semua daerah yang mengidap politik dinasti, tidak bebas korupsi, seperti terjadi di Banten, kakak adik kena kasus korupsi. Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari tersandung kasus korupsi mengikuti jejak sang ayah, mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani Hassan Rais. Di Klaten, Jawa Tengah, Bupati Sri Hartini yang memimpin Klaten berkat dinasti politik yang dibangun suaminya, mantan bupati Haryanto Wibowo, tahu-tahu terkena operasi tangkap tangan KPK karena diduga melakukan jual beli jabatan.
Ini akhirnya akan terus menyuburkan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan sistem seperti ini sulit kita mengharapkan pemimpin yang bisa memajukan daerahnya karena kekuasaan cenderung hanya akan diarahkan untuk menguntungkan kroni dan keluarga pemilik dinasti politik.
Banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi juga menunjukkan kegagalan kepala daerah dalam menjalankan amanahnya dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih. Kegagalan tersebut juga menunjukkan bahwa sistem pilkada langsung yang menghasilkan kepala daerah tersebut perlu di koreksi kembali. Penyebab kepala daerah tersandung korupsi sebenarnya adalah imbas dari pilkada langsung yang menghabiskan biaya yang sangat besar sehingga memaksa kepala daerah untuk mengganti pengeluaran untuk biaya pilkada tersebut. Pilkada adalah perjudian besar-besaran. Untuk kalah dalam pilkada anda harus mengeluarkan biaya yang besar apalagi untuk menang.
Biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah umumnya adalah kepada partai pendukung sebagai syarat untuk mendapat dukungan maju dalam pemilihan. Tentu tidak semua partai politik memungut mahar, tetapi tentunya juga tidak ada makan siang gratis.
Perbuatan korupsi sebenarnya tidak hanya terkait dengan hukum dan administrasi tapi banyak terhubung dengan aspek politik yang salah satunya adalah menggunakan anggaran negara untuk pembiayaan politik. Dalam level daerah misalnya, dana bansos atau hibah banyak digunakan untuk kampanye tim sukses kepala daerah atau dalam level nasional kasus-kasus seperti Buloggate, bank Century, dan lain-lain tidak bisa dilepaskan dari tudingan ini. Namun korupsi politik ini masih sulit disentuh karena penegakan hukum cenderung masih sangat lemah apabila dihadapkan kepada partai politik. Mengapa? Karena saat ini pengisian jabatan untuk pencalonan Kapolri, Jaksa Agung, anggota Komisi Yudisial, KPK, KPU dan sebagainya sangat ditentukan oleh apa maunya partai politik (yang berkuasa).
Tinggalkan Balasan