Pertama, pemilihan langsung memakan ongkos yang sangat besar, baik bagi negara maupun bagi peserta pemilu.

Untuk menyelenggarakan pemilu dan pilkada langsung negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Untuk Pemilu 2024 saja, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 71,3 triliun (https://www.detik.com/sumut/bisnis/d-7190793/ternyata-segini-besaran-anggaran-pemilu-2024).

Apabila digabung dengan biaya pilkada serentak di seluruh Indonesia pada November 2024 ini maka anggaran negara yang dihabiskan mencapai ratusan triliun rupiah.

Hanya untuk memilih pemimpin lima tahunan negara harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Bayangkan apabila uang ratusan triliun itu digunakan untuk pembangunan. Berapa jalan, jembatan, dan sekolah yang bisa dibangun dan diperbaiki.

Bukan hanya negara yang harus mengeluarkan biaya besar untuk membiayai pemilu langsung. Seorang calon presiden maupun calon kepala daerah yang ingin maju dalam pemilihan juga harus mengeluarkan modal yang sangat besar. Konon biaya untuk pemilihan presiden adalah minimal Rp 5 triliun atau bahkan tidak terhingga sementara seseorang yang hendak menjadi calon anggota DPR memerlukan modal di kisaran Rp 5 miliar hingga Rp 15 miliar
(https://www.cnbcindonesia.com/news/20230525115102-4-440499/ngeri-modal-jadi-capres-di-indonesia-minimal-rp-5-triliun).

Lalu bagaimana dengan biaya pilkada sendiri?
Seorang kandidat untuk bisa maju menjadi kepala daerah maka harus mempersiapkan uang yang banyak. Untuk menjadi calon bupati/Walikota rata-rata dana yang dibutuhkan adalah Rp 20-50 miliar, sementara gaji bupati/wali kota terpilih paling hanya Rp 15 juta per bulan. Begitu juga biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.
(https://nasional.kompas.com/read/2020/07/23/11272001/kpk-ungkap-biaya-pencalonan-kepala-daerah-rp-20-miliar-rp-100-miliar). 

Uang yang banyak tersebut digunakan di antaranya mahar untuk mendapat dukungan politik dari partai, membeli suara konstituen, membayar tim sukses, membayar konsultan dan biaya-biaya untuk media ruang publik, seperti baliho, iklan, dan spanduk. Akhirnya yang bisa menjadi kepala daerah hanyalah orang yang punya uang banyak.

Ada yang menuding ongkos pemilu yang besar karena kita menerapkan sistem pemilu dengan proporsional terbuka sehingga ada wacana untuk mengganti dengan pemilu proporsional tertutup. Perbedaan antara proporsional terbuka dan tertutup itu terdapat pada cara memilihnya. Kalau untuk pemilu proporsional terbuka, pemilih mencoblos wajah masing-masing calon. Namun untuk pemilu proporsional tertutup, pemilih hanya memilih partai politik dan tidak bisa memilih kandidat secara langsung. Sistem pemilu proporsional tertutup sendiri pernah diterapkan Indonesia sejak pemilu 1955 hingga 1999.

Menurut saya, masalahnya bukan hanya pada sistem proporsional terbuka dan tertutup ini tapi pada pemilihan langsungnya yang tidak sesuai dengan kultur asli bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan msuyawarah dalam memilih pemimpin.

Demokrasi langsung yang kita jalankan atas nama kedaulatan rakyat sebenarnya hanya kamuflase karena kedaulatan sesungguhnya bukan di tangan rakyat tapi di tangan pemodal sehingga jangan heran apabila banyak pengusaha yang kemudian berbondong-bondong terjun ke politik dan partai politik senang menampung mereka. Artis dan pelawak yang banyak duit juga tidak ketinggalan terjun ke politik karena hanya yang punya duit yang bisa diusung oleh partai politik. Dalam sistem ini anda jangan berharap bahwa hanya dengan modal kecerdasan dan integritas moral anda akan menjadi pemimpin. Modal anda nomor satu adalah uang, dan popularitas. itulah mengapa dalam sistem demokrasi liberal ini semakin banyak pengusaha dan artis yang terjun ke politik. Bukan bermaksud meremehkan artis tapi orang-orang yang berkaliber saja begitu sulit mengatasi masalah bangsa ini.

Mengapa banyak pengusaha yang masuk politik? Apa tujuannya? Sulit melepaskan mereka dari kepentingan bisnis. Pengusaha yang terjun ke politik akan sulit untuk memisahkan antara urusan bisnis dan jabatan publik. Mana sektor bisnis privat dan mana sektor publik sebagai pelayan kepentingan masyarakat. Pengusaha yang tidak bisa membedakan urusan bisnis ini cenderung akan mengalihkan anggaran negara untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pada kepentingan perusahaan miliknya sendiri.