Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

________

JIKA menganggapnya sebagai aib keluarga, atau sekurang-kurangnya ada perilaku tak pantas yang tak perlu ditiru, maka saya tak akan menulisnya menjadi konsumsi publik. Tetapi bahwa ada pesan yang harus dicermati karena fakta-fakta begini itu penting untuk menjadi pesan moral bagi siapa saja. Begini ceritanya: jelang Ramadan lalu, keluarga saya, ahli waris dari garis ibu, harus melakukan “rapat kabinet” mendadak, setelah cukup lama hal begini jarang dilakukan, untuk memastikan sebuah ketidakpastian soal siapa ahli waris yang paling berhak atas sebuah tanah dan bangunan warisan. Sebuah objek warisan yang tak mahal harganya juga. Tetapi kepastian “pemiliknya” yang paling penting, setelah ada tarik-menarik dan silang pendapat yang cukup lama, tak berujung. Hal ini ditengarai bahwa para pihak yang berbeda pendapat itu, tak lagi objektif berpendapat karena ada variabel-variabel lain.

Meski pada akhirnya keputusan harus diambil “secara paksa”, meski melewati sedikit insiden yang mengganggu kenyamanan para tetangga sekitar.

Karena ini adalah pertemuan internal keluarga yang mengedepankan dinamika kekeluargaan, saya berpandangan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 opsi yang bisa digunakan untuk jadi panduan menemukan titik simpulnya: pernyataan wasiat baik tertulis ataupun lisan dengan saksi-saksinya, fakta bahwa ada ahli-ahli waris yang belum sepadan bagian yang diterimanya dari harta waris apa saja dan yang terakhir, menyerahkan keputusan kepada ahli waris paling tua untuk memutuskan sebagai “hak prerogatifnya” menggantikan sosok orang tua, jika dua opsi sebelumnya tak disepakati.

Yang ingin tulis di sini adalah tentang hal yang paling utama tetapi kadang kita lalai karena bisa jadi mudah lupa, pembelajaran atas setiap peristiwa sama yang ada di sekitar kita. Meski juga, saking sedemikian pentingnya, agama menyediakan bab khusus untuk memberi panduan soal harta warisan ini dengan hukum Faraidnya. Soalnya kemudian, apa kita memahaminya atau tidak. Atau bahkan, ketamakan dan hawa nafsu bisa mengalahkan nalar kita tentang hukum kewarisan yang diatur dalam sumber utama ajaran agama, bahkan secara rinci karena hal ini akan dialami semua orang.

Bagi orang yang menghayati nilai-nilai kejujuran, sportivitas, kerja keras dan kemandirian, kebahagian tertinggi yang dinisbatkan pada harta itu, ada pada cara memperolahnya. Ada penghayatan tentang kompensasi kebahagiaan atas kerja keras dan kemandirian yang diikhtiarkannya di jangka waktu tertentu. Tetapi pada orang tertentu pula, mengejar harta warisan adalah cara pintas untuk bisa kaya, bahkan bersombong, jauh dari penghayatan terhadap nilai-nilai di atas.

Di rapat tadi, saya hingga harus mewanti-wanti secara tegas, meski berstatus cucu dari garis ibu, bahwa kita tidak saja bermusyawarah memutuskan siapa yang sebagai ahli waris untuk dipindahkan kepadanya hak kepemilikan tetapi juga kita sedang belajar sekaligus mempraktikkan teladan yang benar dan baik sebagai orang dewasa jika ingin kelak, kita dikenang oleh anak-anak dan cucu-cucu kita sebagai para orang tua yang bijaksana dan paham hukum fiqih dalam soal ini.