Oleh: Agus SB
Pengajar [tetap] Antropologi pada IAIN Ternate
_______

SAYA percaya, barangkali saja, setiap kita menyukai seni musik, sering bernyanyi atau senandungkan lagu, sekurangnya untuk diri sendiri. Juga percaya, setiap orang menerima saja ketika diingatkan, karena kita mahluk yang diberkahi lupa dan ingat. Seperti kita mengingat atau diingatkan pada seseorang atau sesuatu ketika mendengar alunan musik tertentu. Lagu dan menyanyi menjadi mnemonic bagi kita. Namun, tepat pada kebiasaan dan kebutuhan untuk diingatkan itulah, saya memasuki ramadhan dengan rasa cemas. Mencemaskan gendang telinga saya. Nanti, pada malam-malam yang tak dapat diduga, gendang telinga saya akan diterjang dentuman musik dan lagu yang memekakkan, mengacaukan emosi (mood). Dentuman musik dari speaker bahkan kadang membikin kita terlonjak bangun tidur dengan rasa tak nyaman, apalagi didengarkan musik dan lagu sedih (apakah kita perlu sedih atau “sorak sorak bergembira” saat bangun sahur?)

​Kecemasan lantas mengingat saya, dan kemudian, menimbang relevansi tradisi “Dolo Dolo”, alat pelantang terbuat dari bambu. Pada masa lalu yang belum lama, di Maluku Utara ini, pelantang Dolo Dolo digunakan sebagai alat komunikasi untuk mengumpulkan orang, atau mengingatkan sesuatu kepada orang orang. Kenangan ini membikin rindu pada dolo dolo, dan disergap rasa kehilangan. Tidak bisakah mereka yang suka membangun orang sahur hanya dengan “dolo dolo bambu”? Kurang keras dentumannya?”

​Apa yang hilang tak hanya dolo dolo itu sendiri, juga keseluruhan aspek dari industri bambu. Dengan kata “industri” saya maksudkan bukan seperti lembaga pabrik dengan mesin-mesin modern dan pekerja dengan kualifikasi tertentu, tetapi menurut pengertian dari kata itu sebelum abad ke-18. Dalam bukunya “Culture and Society 1780-1950” (1960), Raymond Williams menjelaskan, sebelum revolusi industri di Inggris abad ke-18, kata ini, “industri”, menunjuk pada ciri tertentu dari manusia; keterampilan (skill), ketekunan (assiduity), tekad (perseverance), dan kerajinan (dilligence). Tetapi dekade akhir abad ke-18 itu, atau dimulai sejak tahun 1776, diduga melalui salah satu penulis, Adam Smith, dalam bukunya “the wealth of nations”, menggunakan kata ‘Industri’ (dengan “I” besar”) dalam arti pabrik (manufacturing), sebuah institusi dengan kumpulan aktivitasnya. Sejak itu, kata “Industry” dipahami sebagai lembaga dengan perangkat aturan dan teknologi yang mengatur aktivitas tertentu (p. xi, xiii).

Tumbuhan bambu dengan berbagai bentuk hasil olahannya berakar dalam budaya manusia penggunannya. Itulah mengapa kita pernah memiliki orang-orang pintar tempatan di Ternate, yang tanpa pendidikan formal keteknikan dapat mengolah bambu menjadi perabotan seperti kursi, meja, tempat tidur, penyaring, dan sebagainya, dari bambu. Di Halmahera bagian utara kita pernah dapati orang orang pintar yang tanpa menempuh pendidikan seni musik tetapi dapat mengolah bambu menjadi alat musik yang dinamakan “bambu tada”. Semua ini yang saya maksudkan dengan “industri bambu”.

​Sepertinya sedang pulih kesadaran apatur pemerintah pusat mengenai potensi bambu sehingga saat ini, melalui kementerian lingkungan hidup dan kehutanan RI, telah mencanangkan dan merealisiasikan proyek 1.000 Desa Bambu. Dalam Siaran Persnya (Nomor: SP.505/HUMAS/PP/HMS.3/12/2020). Pada laman https://ppid.menlhk.go.id/berita/ siaran-pers/5746/ (download 12/3/2024), di hadapan forum diskusi Strategi Nasional Industri Bambu Rakyat: Inisiasi Desa Bambu Agroforestri di Indonesia, di Badung, Bali, 14-12-2020, Wakil Menteri LHK Alue Dohong mengatakan “KLHK mempunyai program Perhutanan Sosial yang dapat dijadikan areal untuk mengembangkan penanaman bambu. Dari target 12.7 juta ha, 1.000 desa bambu ini bisa dilakukan sebagian di areal Perhutanan Sosial dengan pola bambu agroforestry”. Saya tidak tahu, apakah di Maluku Utara telah muncul kesadaran, dan melakukan tindakan serupa.

​Dalam ajaran ekonomi, meskipun proyek penanaman bambu menjadi penting sebagai cara mencegah kepunahannya, namun tentu saja membutuhkan pengolahan, pasar produk dan konsumen. Di pihak lain, meskipun saya tidak memiliki data, tetapi saya percaya dimana tradisi dolo dolo dan seluruh aspek industri bambu di Ternate yang kini beranjak punah nampaknya terjadi seiring menghilangnya perabotan meja, kursi, tempat tidur, dan lainnya yang terbuat dari bambu. Kita dikepung perabotan rumahtangga dari plastik, besi dan kayu (kayu akan sangat mahal karena hutan kayu Maluku Utara menyusut). Pun saya tidak tahu, apakah musik “bambu tada” di Halmahera bagian Utara itu masih terpelihara dan masih adakah generasi muda trampil yang menggunakan alat musik ini. Konsekuensi yang masuk akal; menyusutnya budidaya dan pemeliharaan bambu beragam jenis yang kaya di Maluku Utara; hilangnya kepintaran dan orang pintar dalam kerajinan bambu untuk perabotan; hilangnya keterampilan seni bambu. Kita kehilangan “industri” bambu.