Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang menyangkut hal penting, strategis dan memiliki dampak besar bagi kehidupan bangsa, negara dan rakyat. Penyelidikan tersebut dilakukan atas dugaan adanya kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Perihal hak angket menjadi satu-satunya peluang bagi kelompok oposisi untuk melakukan upaya pembatalan hasil pemilu.
Secara yuridis, hak angket diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Pasal 79 ayat (3) dan Tata Tertib DPR Tahun 2020. Hak ini melekat dengan tugas DPR sebagai wakil rakyat dan lembaga negara. Hak angket mesti dijadikan sebagai upaya menjaga kedaulatan negara, DPR sebagai pilar penyeimbang kekuasaan (power of balance). Namun, hak angket juga menjadi kacau jika dijadikan sebagai upaya membatalkan hasil pemilu apalagi putusan MK sebab yang memiliki kewenangan membatalkan putusan pemilu hanyalah MK.
DPR sebagai wakil rakyat mestinya bisa membatlakan hasil pemilu. Kita dapat mengacu pada adagium hukum “Lex esse von vadatur quae justa non fuerit” yang berarti aturan yang tidak ada keadilan di dalamnya tidak layak disebut sebagai hukum.
Dalam artian, jika putusan MK itu bersifat UU maka DPR sebagai wakil rakyat berhak mengugatnya dengan asas Sociological Jurisprudence. Namun bagaimana bisa DPR melakukan ini sedangkan MK sendiri sebagai lembaga kehakiman tertingi di negara?
Inilah yang menjadi alasan mengapa penulis berpandangan bahwa hak angket akan melemahkan final and binding Mahkamah Konstitusi (MK). Pemilu 2024 terasa berat bagi MK untuk membatalkan dengan segala kemuliaan keluarganya, maka perhelatan ini terpaksa akan diterima sebagai sejarah peradaban politik yang mengintervensi hukum, sehingga lembaga kehakiman harus melepaskan diri dari analitycal jurisprudence. Olehnya itu kita tidak punya alasan untuk melakukan (toetsingrechts) judicial review etik Pemilu.
Maka, kembalikan pada nurani publik untuk menilai proses dan hasil pemilu agar kita tak sedang mengatur hukum dan politik tanpa nilai, bangsa yang beriman dan berkeyakinan perlu melihat proses ini secara filosofis, yuridis dan teologis untuk memastikan hukum dan kekuasaan sebagai sistem dan syariat. (*)
Tinggalkan Balasan