Ia menjelaskan, mekanisme pengusulan pokir ini disampaikan bersamaan saat pembahasan musrenbang. Pokir ini bersumber dari kegiatan reses dan kunjungan kerja yang dilakukan oleh anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan.

“Usulan pokir ini disampaikan bersamaan dengan pelaksanaan musrenbang tingkat kecamatan sampai pada tingkat kota, karena musrenbang itu merupakan embrio dari KUA-PPAS. Selanjutnya tinggal dari pemerintah daerah yang mengakomodir,” pungkasnya.

Pernyataan Ketua DPRD Kota Tidore Kepulauan ini kontras dengan imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disampaikan Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi (Satgas Korsup) KPK RI Wilayah V, Dian Patria, terkait pencegahan korupsi melalui konspirasi penyusunan APBD lewat pokir.

Menurut Dian, pokir DPRD seharusnya dilakukan penyesuaian yang selaras dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Pokir juga harus dipandang dalam bentuk program, bukan dalam konteks rupiah, di mana Ketua DPRD dapat Rp 1 miliar, sementara anggotanya dapat Rp 500 juta. Sebab yang demikian merupakan bentuk konspirasi dalam penyusunan APBD yang bisa saja berpotensi korupsi.

“Bahkan untuk pokir ini sendiri tidak wajib dimasukkan dalam penyusunan APBD kalau tidak selaras dengan hasil musrenbang dan RKPD. Olehnya itu, pokir DPRD sudah harus disampaikan satu minggu sebelum pelaksanaan musrenbang,” tukasnya.

Senada, Kabag Keuangan DPRD Tikep Gufran ketika dikonfirmasi soal anggaran pokir mengaku data arsip pokir tersebut belum dimiliki DPRD. Dia bilang, pokir justru melalui Bappeda karena diinput datanya melalui RPJMD.

“Jadi di DPRD tidak pernah memegang data poker tersebut,” ungkapnya.