Cara seperti ini justru memberi kesan bahwa cara berpolitik umat Islam begitu stagnan karena kurangnya gagasan-gagasan pembaharuan dan tidak lebih dari angka, hanya mengandalkan kuantitas tanpa kualitas. Meskipun berpartisipasi secara aktif, begitu banyaknya umat yang “buta politik”, karena dipengaruhi oleh politik patron-client, simbolisme, emosional dan penurut (submissiveness).
Kuntowijoyo (Identitas Politik Umat Islam) memberikan suatu gambaran tentang gaya berpolitik umat Islam ibaratkan menumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang, tanpa kompas, tidak tahu tujuan dan tidak tahu cara berlayar dan kadang-kadang dibuat bingung, sebab panutannya berbuat seenaknya.
Tidak dapat menutup mata pada realitas, partai Islam juga telah menorehkan citra yang kurang baik, seperti halnya terjerat kasus korupsi, maupun tindakan-tindakan melawan hukum lainnya dan belum memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kesenjangan-kesenjangan sosial.
Bahtiar Effendy (Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan) menegaskan bahwa dasar-dasari teologis politik Islam yang perlu dikembalikan adalah bagaimana menampilkan Islam dalam bentuknya yang paling objektif, ketika berhadapan dengan lingkungan sosial-keagamaan Indonesia yang sangat heterogen.
Olehnya itu, menuju momentum pemilu 2024 yang hanya mengitung hari, partai Islam perlu memberikan pemahaman politik yang rasional dengan kesadaran nilai secara intens, karena mengingat mayoritas umat Islam terkadang masih berpikir abstrak. Semoga! (*)
Tinggalkan Balasan