Beliau mengatakan bahwa dari sudut pandang kosmologis Al-Qur’an, konsep tentang keadilan [adil, secara etimologis berarti “tengah” atau “seimbang”] terkait erat dengan pandangan tentang hukum keseimbangan [mizan], yang menguasai jagat raya, disertai pesan agar kita tak melanggar hukum keseimbangan itu [lihat QS 55 : 7-9]. Jadi melanggar keadilan, yaitu perbuatan dholim, adalah sebuah dosa kosmis [melanggar aturan jagat raya atau alam semesta], sebuah dosa yang amat besar dan bukan sekedar dosa pribadi. Karena itu, ancaman Allah untuk menghancurkan suatu negara, bangsa, masyarakat, umat dan lain-lain, di sangkutkan dengan kedholiman sosial, tanpa peduli apakah masyarakat itu secara formal mengaku menganut ajaran yang benar atau tidak [lihat QS.17 : 16 dan 47 : 38].

Berdasarkan itu, kata beliau, Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa keadilan adalah aturan segala sesuatu [nizham-ukull-isyai’], sebagai hukum ketetapan Allah [sunatullah], yang tidak akan berubah atau berganti, yang objektif [berlaku kepada siapa saja tanpa memandang posisi dan paham pribadinya. Beliau mengutip sebuah ungkapan hikmah yang berarti: Tuhan mendukung kekuasaan yang adil meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang dholim meskipun Islam. Dan dunia akan tetap bertahan dengan keadilan meskipun kafir, dan tidak mendukung kekuasaan yang dholim meskipun Islam.

Jika manusia sebagai pribadi bisa disematkan predikat “khalifah”, yang salah satu tugasnya adalah “menegakkan keadilan”, bagaimana dengan pemimpin umumnya, apalagi pemimpin umat. Tentu bisa menjadi catatan renungan buat segenap kita dalam hidup ini.

Saya, dan mungkin kita yang memahami suasana batin sang wakil, yang saat ini di beri kewenangan penuh mengendalikan pemerintahan ini, mungkin akan memaknai bahwa metafora “lain koki, lain masakannya” adalah tekad dan kesungguhan untuk mengabdi di akhir waktu. Bahwa tidak ada yang salah dari paket ini. Namanya saja paket kepemimpinan, saling melengkapi hingga meneruskan, bahkan mengubah menjadi lebih baik. Bukan salah “paket”nya, nasib saja yang berbeda, dengan segenap ibrah yang jadi “catatan renungan” buat kita di akhir episode.

Dan saya, kebetulan juga yang lebih awal, di awal episode kepemimpinan ini, menerima catatan renungan tadi sebagai “pelajaran”, akan selalu saya kenang di sisa karir, bahkan di sisa hidup ini, di empat tahun, lima bulan lalu, hingga saat ini. Wallahua’lam. (*)