Manusiawi, jika setiap orang yang diperlakukan tidak adil, apalagi hingga merusak karirnya yang dibangun dengan susah payah dan dalam jangka yang lama, akan menyesalinya. Bagaimana tidak, hukuman disiplin tadi setara tak pernah berkantor selam 45 hari. Padahal malam sebelumnya, saya baru mewaliki sang pimpinan untuk sebuah kegiatan di Ternate.
Singkatnya, di deretan kami yang lebih 10 orang itu, ada yang harus menerima fakta “pensiun paksa”, ada yang kembali lagi ke level jabatan yang sama karena punya kedekatan keluarga dan ada yang menggantung hingga saat ini.
Kembali ke judul tulisan ini, skenario-Nya “memaksa” sang wakil di paket periode kedua ini menjadi pengendali utama pemerintahan di akhir periode mereka, di luar dugaan banyak orang. Saya, tentu tak akan menulis lebih soal ini. Kita semua telah tahu situasinya. Tetapi yang paling penting, tentunya pengetahuan di atas “tahu” tadi, apa pesan kehidupan paling hakiki di sini.
Sang wakil tadi, sebelumnya “bernasib”, lebih kurang sama dengan yang di alami oleh kami. Menjadi “orang nomor dua”, yang nyaris tak banyak peran dan kewenangan, memang menyakitkan. Apalagi bila sedikit perfect dan merasa berada pada situasi harus menjawab ekspektasi yang tinggi dari warga terhadap paket kepemimpinan ini, serta pernah punya pengalaman mengelola pemerintahan, tentu akan berbeda kondisinya bagi orang yang tidak dalam situasi begini. Dari sudut itulah, saya memahami “riak-riak” dari sebuah hubungan yang “tak mesra”, yang sering terjadi sebelumnya.
Dalam situasi begini, siapapun dia, mungkin dalam benaknya pernah terbersit, andainya saya diberi “kewenangan penuh” untuk mengelolanya, saya akan mencurahkan semua obsesi dan kemampuan terbaik yang dimiliki, untuk melakukan sebuah perubahan besar, mendasar, berkeadilan dan menyejahterakan.
Dari sudut pandang itulah, kita mungkin memahami ungkapan “lain koki, lain masakannya” tadi. Meski secara hakiki, ungkapan ini menyiratkan obsesi dan keyakinan paling tinggi yang masih harus dibuktikan lagi. Beberapa perintah dan instruksi lisan di apel pagi itu, adalah pembuktian perdana atas tekad dan keyakinan kuat untuk mau berbenah.
Di salah satu opini di rubrik Mimbar Jum’at tabloid harian Malut Pos, berjudul Keadilan Pemimpin, saya pernah mengutip almarhum Nurcholish Madjid bahwa legacy paling monumental yang diwariskan para pemimpin besar di dunia Islam masa lalu adalah kemampuan berlaku adil.
Tinggalkan Balasan