1. Pengadilan independen yang mampu menginterpretasikan peraturan pemilu;
  2. Lembaga administrasi yang jujur, kompeten dan non partisipan untuk menjalankan pemilu;
  3. Pembangunan sistem kepartaian yang terorganisir untuk meletakkan pemimpin dan kebijakan di antara alternatif kebijakan yang dipilih; dan
  4. Penerimaan komunitas politik terhadap aturan main tertentu dari struktur dan pembatasan dalam kekuasaan.

“Satu suara menentukan masa depan bangsa” menjadi hal yang cukup masif dikampanyekan, baik calon pemimpin legislatif, eksekutif maupun penyelenggara Pemilu. Memang secara ideal, seluruh rakyat menginginkan pemilu berjalan dengan prinsip-prinsip demokrasi secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Tidak menutup kemungkinan, jika Pemilu 2024 mendatang bisa saja berpotensi kecurangan. Karena, isu mengenai politik identitas hingga money politic (politik uang) juga cukup masif dilakukan dan menjadi suatu tantangan yang cukup mengkhawatirkan. Dalam skala global, Demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6,71%.

Menuju pemilu 2024, dinamika berdatangan silih berganti dan banyak kritikan berupa demonstrasi
berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, hingga masyarakat akar rumput. Isu presiden 3 periode,
penundaan pemilu, hingga putusan MK mengenai batas usia cawapres, menjadi hal yang membuat kualitas demokrasi dipertanyakan.

Olehnya itu, menjaga demokrasi tentu tidak hanya sebatas momen pemilu saja. Terdapat beberapa cara untuk mengawal demokrasi, agar berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar negara. Akan tetapi, lagi-lagi bahasa persuasif tersusun rapi berupa janji-janji manis dan rakyat menjadi korban karena perebutan kekuasaan kalangan para elite. Fenomena seperti ini, seolah-olah menjadi hal yang dianggap lazim dan
halal untuk dipraktikkan. Mari kita merenung bersama. (*)