Jufri juga menyoroti dokumen Ranperda APBD yang disampaikan Gubernur AGK, ia menyarankan pimpinan DPRD untuk mengkroscek kembali apakah sudah dilengkapi dengan dokumen-dokumen lainnya seperti yang diisyaratkan dalam PP Nomor 12 tahun 2009.

“Jika belum dilengkapi, maka persepsi publik di luar sana bahwa keterlambatan ini karena ulah DPRD bisa kita buktikan di dalam rapat paripurna ini, jadi sebelum dilanjutkan kami sarankan kepada pimpinan untuk mengecek kembali dokumen Ranperda APBD ini,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jasmin Rainu. Menurutnya, penyampaian RAPBD sudah terlambat.

“Dari sisi mekanisme sudah terlambat dalam pengajuan sebuah dokumen RAPB,” ujarnya.

Jasmin menilai, tahapan pengesahan KUA-PPAS pada 30 November lalu merupakan sebuah rangkaian terjadinya keterlambatan pada penyampaian RAPBD hari ini.

“Perlu kami sarankan bahwa setelah menyampaikan nota keuangan perlu juga dicek kembali terkait dokumen seperti yang diamanatkan,” jelasnya.

Ketua Komisi II Ishak Naser menyatakan keprihatinannya terhadap pernyataan komisi antirasuah yang menyebut ada pokir DPRD senilai Rp 400 miliar yang menjadi faktor penghambat proses pembahasan APBD 2024.

“Terkait dengan hal ini tentunya kita harus objektif, untuk itu saya meminta kebetulan yang terhormat bapak Gubernur juga hadir di sini untuk memberikan ruang seluas-luasnya mengklarifikasi masalah ini,” ujarnya.

Politikus Nasdem ini meminta pimpinan DPRD dan Gubernur Maluku Utara beserta jajarannya untuk segera mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka membicarakan masalah ini secara terbuka.

“Supaya kita bisa bicarakan secara terbuka, silakan eksekutif melakukan pembuktian di hadapan KPK,” terangnya.

Hal tersebut, lanjut Ishak, menjadi penting sehingga stigmatisasi seperti ini selalu memojokkan DPRD.

“Kami menghormati apa yang disampaikan pemerintah daerah pada saat rapat koordinasi supervisi KPK karena itu amanat undang-undang, tetapi apa yang dijelaskan ke KPK menurut kami berlaku sepihak sehingga tidak memberikan ruang,” ucapnya.

Ishak menyatakan, masalah seperti ini juga pernah terjadi dimasa kepemimpinan Gubernur AGK sebelumnya, di mana Gubernur menyampaikan laporan ke KPK bahwa penyusunan APBD Maluku Utara syarat korupsi oleh DPRD.

“Tapi sampai sejauh ini tidak dapat dibuktikan, sekarang tudingan itu kembali bergulir dengan formulasi yang sedikit berbeda,” jelasnya.

Ia menambahkan, contoh kasusnya pada APBD Perubahan 2023, bisa dikatakan bahwa pemerintah daerah sudah membohongi DPRD, sebab APBD Perubahan yang disetujui sudah tepat waktu, dan tidak pernah mengalami keterlambatan.

“Di mana dalam amanat undang-undang batas waktunya 30 September, sementara persetujuan DPRD atas APBD-P disampaikan pada 28 September, artinya masih tersisa dua hari sebelum batas waktu berakhir, namun setelah kita mengkroscek ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ternyata, dokumen yang diajukan itu adalah dokumen yang dikerjakan secara manual, bukan berbasis sistem,” katanya.

Akibatnya, seluruh program yang dibahas dalam APBD-P tidak terupdate ke dalam sistem, atas dasar inilah APBD-P tidak dapat dievaluasi oleh Mendagri.

“Akhirnya APBD-P tidak jelas dan tidak dapat dilanjutkan lagi,” bebernya.

Ishak menyarankan agar masalah tersebut tidak terulang kembali maka perlu adanya pengecekan kembali dokumen RAPBD yang disampaikan oleh Gubernur.

Paripurna akhirnya diskorsing selama 10 menit, di mana Wakil Ketua DPRD Rahmi Husen mempersilakan masing-masing pimpinan fraksi untuk mengkroscek isi dokumen tersebut.

Setelah dipelajari lebih jauh oleh pimpinan fraksi, ditemukan sebanyak 13 poin dokumen pendukung yang belum dilengkapi Pemprov Maluku Utara.

“Tahapan pembahasan RAPBD akan kita lanjutkan setelah seluruh dokumen yang diminta sesuai persyaratan dan ketentuan yang berlaku digubris oleh Pemprov Maluku Utara,” ungkap Rahmi seraya menutup rapat paripurna.