Oleh: Yahya Alhaddad, S. Sos, Msi
Caleg Kota Ternate Dapil Ternate Selatan dan Moti Partai Perindo Nomor Urut 03
_______
BERBAGAI kebudayaan komunitas manusia di dunia memiliki basis nilai, kepercayaan, pengetahuan yang selalu menuntun dan mengarahkan tindakan seseorang untuk berbuat baik serta hindari perbuatan buruk yang disebut dengan moralitas. Konsep kebaikan berkonotasi dengan tindakan atau kualitas pribadi berupa belas kasihan, kebaikan, kemurahan hati, dan amal.
Kemampuan berbuat baik oleh seseorang yang tanpa pamrih, tanpa memandang golongan status, etnis, agama dan batasan adalah, hanya dimiliki oleh orang yang memiliki kecerdasan moral. Menurut Borba (Muryastuti, 2015) untuk melihat kecerdasan moral seseorang dapat dilihat melalui aspek-aspek yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan yang dapat dijadikan acuan seperti empati, murah hati, rasa hormat, toleransi, hati nurani, kontrol diri, kebaikan hati, dan keadilan.
Aspek-aspek kecerdasan moral atau perbuatan baik tersebut tidak diperoleh dalam waktu singkat, kehendak bebas, tetapi diperoleh melalui proses sosial, kapasitas terlatih yang oleh Bourdieu sebagai habitus. Kebaikan akan disebut baik jika ada muatan unsur kemanusiaan bukan karena kepentingan pribadi dan, lalu kemudian menuntut imbal-balik. Seperti ditegaskan oleh Kant bahwa kapasitas moral seseorang mempunyai kewajiban untuk menjadi dermawan, yaitu membantu orang lain sesuai kemampuannya, dan tanpa mengharapkan keuntungan pribadi dalam bentuk apa pun.
Momentum Menjadi Baik
Bulan-bulan sebelumnya, kebaikan hati, kemurahan hati terasa begitu mahal—tepat 28 November, Desember 2023 hingga 14 Febuari 2024 adalah momentum di mana ada “orang baik dadak” yang oleh Erving Goffman menyebutnya drama Turki. Istilah drama Turki terkenal dengan pengaruh drama teater, pertunjukan fisik di atas panggung di mana seseorang aktor memainkan karakter lain sehingga penonton memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut yang mampu mengikuti alur cerita drama yang disajikan.
Mulyana (1999:87) menjelaskan bahwa pendekatan Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin “mengelola” kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan “pertunjukan” bagi orang lain. Kehidupan diibaratkan teater, interaksi sosial di atas panggung yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor. Seringkali sang aktor melakukan pengelolaan kesan (impression management) itu tanpa sadar, namun adakalanya juga sengaja untuk meningkatkan status sosialnya dimata orang lain atau demi kepentingan finansial atau politik tertentu.
Tiga bulan ini—panggung politik akan diramaikan dengan “orang baik dadakan” yang menampilkan sisi moralnya terutama elit politik, mereka menunjukkan kesan baiknya pada masyarakat. Dari cara bertutur, berperilaku dan berpakaian pun tampak teramat sangat sopan—bahkan symbol keagamaan seperti songkok dan lainnya diikut sertakan ketika melakukan kunjungan silahturahmi untuk mendapat dukungan politik. Gombalan hingga rayuan maut baik dalam bentuk kata maupun pemberian materi.
Tinggalkan Balasan