Oleh: Anwar Husen

Kolomnis/Tinggal di Tidore

_______

DI WAG itu, seorang karib memposting berita soal bakal disitanya gedung Dhuafa Center, Ternate, oleh salah satu lembaga penegak hukum karena statusnya yang telah naik ke penyidikan.

Di berita terkait, YLBH Malut mendukung langkah yang ditempuh lembaga penegak hukum ini untuk mengusut tuntas anggaran sewa gedung Duafa Center, yang diduga tidak transparan dalam pengelolaannya.

Berita pertama berkait dengan status penerima hibah atas aset ini, yang diduga bermasalah kelembagaannya karena menabrak aturan soal syarat-syarat penerima hibah yang tidak dipenuhi, diduga ada motif saling rebutan sebagai penerima hibah. Sedangkan berita keduanya soal manajemen pengelolaan gedung umat ini, yang diduga tidak transparan dan berpotensi ada penyalahgunaan keuangan.

Ketika ditanya tentang apa masalahnya sehingga ada berita-berita tadi, seorang karib menjawab bahwa pengelolanya tidak bisa menjelaskan pemakaian uang-uang ASN yang dipotong paksa untuk itu dan berapa jumlah kaum duafa yang telah terbantukan selama pengelolaan. Saya menyambungnya bahwa hal-hal begini sudah jadi gejala umum umat yang memalukan. Saya sering menulis tentang manajemen pengelolaan sumber daya masjid, itu salah satu alasannya untuk saling mengingatkan hal-hal begini.

Saya pikir, kita sependapat bahwa pengelolaan sumber daya umat yang bisa jadi merupakan manifestasi dari rasa solidaritas dan ukhuwah yang berbentuk zakat, infak dan sadakah itu, hingga bisa terseret menjadi kasus hukum, ini hal yang benar-benar memalukan. Malu berjamaah, bukan sekadar malu pribadi-pribadi yang mengelolanya.

Sekitar 12 tahun lalu, di pemerintah daerah Kota Tidore Kepulauan, karena tugas jabatan, saya sering mengkoordinasikan zakat profesi ASN di level salah satu perangkat daerah. Saat itu, “model” zakat ini pertama kali diterapkan di level pemerintah daerah. Bentuknya, menyisihkan 2,5 persen dari pendapatan gaji ASN untuk klasifikasi nominal tertentu, untuk kepentingan ZIS (Zakat, Infak dan Sadakah).

Dalam perkembangannya, khususnya berkaitan dengan mekanisme, jumlah dan objek penerimanya, ada indikasi mulai “bermasalah”. Semangat awalnya yang terkesan begitu mulia, karena bermaksud sekadar santunan “pelipur lara” bagi yang membutuhkan, dengan syarat-syarat tertentu, mulai “berbelok” haluan, bahkan terindikasi masuk “wilayah politik” praktis. Bisa jadi karena efek pemilu langsung, entah itu lembaga perwakilan rakyat atau kepala daerah.