Demikian halnya dengan IFC Performance Standard sebagai kerangka yang memastikan suatu investasi tidak hanya menguntungkan secara finansial, melainkan dapat menguntungkan dari sisi lingkungan hidup dan tidak menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, perusakan lingkungan, dan menurunnya reputasi pemangku kepentingan. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam IFC Performance Standard ini baru diadopsi oleh HSBC, DBS, dan Maybank Indonesia. Sementara prinsip lainnya, seperti UN Principles for Responsible Investment yang pada dasarnya memasukkan cakupan isu-isu sosial maupun lingkungan hidup dalam analisis investasi, baru diadopsi oleh Bank UOB Indonesia.

Pemaparan di atas memperlihatkan komparasi antara bank swasta nasional maupun bank pemerintah tidak merata dalam komitmen penurunan kerusakan lingkungan hidup. Buktinya, riset terbaru dari The Prakarsa (2022) cukup mengejutkan, bahwa betapa buruk sistem perbankan di Indonesia dalam komitmennya terhadap masalah perubahan iklim. Posisi bank milik pemerintah skornya paling bawah, seperti Bank Mandiri: 0,3, BRl: 0,2, BNI: 0, BJB: 0. Sementara HSBC dan DBS Indonesia skornya cukup tinggi, yakni 4. Sedangkan skor Maybank mencapai angka 0,9. Meskipun demikian, bank swasta lain seperti BCA juga meraih skor 0.

Artinya skor yang dicapai oleh bank milik pemerintah maupun swasta belum compatible dalam perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan perubahan iklim secara berkelanjutan. Karena itulah, Koalisi Responsi Bank Indonesia sejak 2021, secara terbuka pernah menyentil sejumlah bank nasional yang masih mengucurkan anggaran ke perusahaan batu bara yang terdaftar di Global Coal Exit List (GCEL) sejak 2018 hingga Oktober 2020, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank. Bahwa nilai total pinjaman dari beberapa bank tersebut adalah 6,29 Miliar USD atau senilai Rp 89 triliun, dan penjaminan emisi sebesar 2,64 miliar USD atau Rp 16,6 triliun. Akan tetapi, pembiayaan yang sedemikian besar itu bila dihitung secara keseluruhan berikut penggunaannya berdampak positif terhadap lingkungan hidup?

Peran OJK

Jika mengacu pada kasus pembiayaan sebagaimana dijabarkan di atas, maka di sini peran OJK harus lebih maksimal. Kuncinya adalah mengkaji ulang dari aspek hulunya, yakni kesediaan bank dalam memberikan pembiayaan investasi. Selain itu, OJK perlu menguatkan dua dari tiga kunci kewenangannya.

Pertama, mengenakan sanksi (right to impose sanction), yang mana kewenangan ini untuk menjatuhkan sanksi apabila suatu bank tidak patuh terhadap ketentuan perundang-undangan. Kedua, melakukan penyidikan (right to investigate), yaitu kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perbankan. Hal ini sebagaimana diperkuat dalam POJK No. 51/POJK.03/2017 mengenai Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.

Aturan tersebut menekankan penciptaan sistem keuangan yang lebih terbuka agar tidak terjadinya tarik-menarik antara kepentingan ekonomi dan pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga, sistem keuangan berkelanjutan dalam implementasinya lebih preventif.