Contoh kasus di atas, selaras dengan penilaian yang disampaikan Sonny Keraf (2023), bahwa setidaknya dalam implementasi keuangan berkelanjutan justru terbilang belum mencapai tingkat signifikansi. Karena itu, ada tiga hal yang menjadi tantangan. Pertama, karena orientasi negara hanya pada tataran keputusan yang mengutamakan keuntungan dibandingkan konsentrasi terhadap masalah environmental, social, and governance. Kedua, masalah environmental, social, and governance terabaikan oleh ketiadaan kekuatan yang bersifat memaksa dari atensi sektor perbankan. Ketiga, masalah sistem penegakan hukum lingkungan yang belum efektif.

Kalau kita cermati lebih jauh, Bank Indonesia sendiri sejak 2019 mengakui implementasi keuangan berkelanjutan belum menyentuh pada tataran yang substantif, seperti penerapan manajemen risiko dari sektor perbankan guna mengidentifikasi dampak pembiayaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, polusi, limbah, konflik lahan, ancaman kesehatan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Jadi baru pada konteks prosedural, sebagaimana dikritik oleh Tuk Indonesia (2023), bahwa dalam sistem pelaporan berkelanjutan sektor perbankan tidak dapat mengungkap berbagai fakta materialitas. Fakta tersebut menunjukkan sektor perbankan Indonesia justru gagal mengungkapkan dan mengelola risiko tersebut dengan baik.

Meskipun demikian, masalah yang timbul tidak menjadi evaluasi dari pemerintah untuk menyetop pendanaan dari pihak perbankan. Padahal jika itu dilakukan atau paling tidak membuat kebijakan pembatasan, maka ke depan implementasi keuangan berkelanjutan bisa memberi value yang maksimal sesuai dengan tujuannya. Salah satu kuncinya ada pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pihak yang dapat melakukan identifikasi terhadap sektor perbankan untuk meninjau kembali pembiayaan.

Selanjutnya, data yang diungkap The Prakarsa (2019), menilai sejauh ini standarisasi yang digunakan oleh perbankan hanya mengacu pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, seperti Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Masalahnya, pada tataran norma, sektor perbankan milik pemerintah maupun swasta nasional dalam pembiayaan berkelanjutan selama ini belum secara keseluruhan mengadopsi prinsip dan inisiatif global terkait pembiayaan berkelanjutan, seperti UN Global Compact, Equator Principles, IFC Performance Standard, dan UN Principles for Responsible Investment.

Terhitung baru beberapa yang mengadopsi prinsip dalam UN Global Compact sejak 2022, misalnya BRI dan Bank Jago. Prinsip yang termuat dalam UN Global Compact merupakan inisiatif strategis bagi setiap perusahaan yang berkomitmen untuk menyelaraskan aktivitas bisnis berkelanjutan dengan prinsip-prinsip universal di bidang HAM, tenaga kerja, lingkungan, termasuk agenda anti korupsi. Sementara Equator Principles, Bank UOB Indonesia sudah ikut mengadopsi prinsip ini sejak 2021, dengan kesediaan keuangan berkelanjutan sebesar Rp 13 miliar.

Sebelumnya, pengadopsian prinsip ini lebih dulu dilakukan oleh Bank CTBC Indonesia, termasuk bank swasta lain seperti HSBC Indonesia. Pentingnya Equator Principles ini karena pada dasarnya memitigasi risiko atas proses pembiayaan yang berlangsung bagi setiap entitas perusahaan.