Namun, meskipun merencanakan kebohongan dalam hal bertentangan dengan etika kebajikan sehingga penulis berupaya menunjukkan dua masalah yang sangat menonjol. Yaitu membangun etikanya, adalah bagian dari perencanaan. Mengingat perencanaan menjadi bagian itikad atau niatan baik pemerintah atas dasar kewajiban bernegara dan bukan atas dasar kepedulian mengingat negara dihadirkan dengan tanggung jawab menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh warganya (masyarakat Indonesia) dengan tegas membedakan birokrasi yang peduli dan birokrasi yang menjalankan kewajibannya. Untuk memahaminya secara rasional menentukan nilai mana yang lebih diprioritaskan maka birokrasi Ternate lebih menjelaskan tentang kepedulian yang bersumber pada individunya untuk berkembang.

Masalah kedua dalam menghubungkan pemahaman ini tercakup dalam seruannya bahwa birokrasi Ternate akan menyelesaikan masalah pelabuhan ini di tahun 2024 dengan menganggarkan Rp 15 miliar pada posisi lainnya menyebutkan Rp 10 miliar. Dari sudut pandang ini nampaknya birokrasi Ternate tidak bertindak dalam politik profesi (birokrasi) namun skala yang tidak berubah, yaitu matematika konsensus yang bertalian dengan tahun politik nantinya karena mampu mengelabui konstituen atas dasar kompetensi untuk membuat sesuatu bukan atas dasar merencakan keharusan sebagaimana menjadi bagian dari etika kebijakan. Selain itu MoU kali kedua yang ditandatangani termuat diksi berkewajiban menganggarkan di tahun ke depannya (2023 saat ini) dengan total nominal yang tertera sudah menjadi janji sosial atas warga masyarakat yang dipimpinnya sehingga secara etika kebijakan tentu menjadi skala prioritas dalam merencanakan APBD paskah MoU tersebut.

Etika kebijakan tidak bisa berfokus pada maksimalisasi realisasi preferensi individu atau pada klaim hak yang dapat dibuat oleh seseorang. Tulisan ini mencoba untuk mengambil sudut pandang yang mengabstraksikan sejauh mana masyarakat Hiri berjuang yang terwakilkan oleh AMPUH dan sebanyak mungkin langkah yang telah ditempuh guna memenuhi prasyarat birokrasi ala Ternate sudah menjadi dasar untuk menyajikan prosedur dan prinsip-prinsip tindakan. Dari perspektif kebajikan-etika, kita harus memahami konteks dan aktivitas tertentu di mana birokrasi Ternate berfungsi untuk menilai kualitas tindakan yang dilakukan AMPUH. Tindakan yang bermakna bagi manusia berkontribusi pada aktivitas umum dengan tingkat kompleksitas tertentu. (*)