Pasca Pilpres 2019 relawan semakin berani. Saat Jokowi melantik Prabowo Subianto menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju, ada kelompok relawan yang mengancam membubarkan diri. Jokowi kemudian mengakomodasi kelompok tersebut dengan jabatan wakil menteri. Lalu relawan terbagi dalam berbagai kelompok kepentingan dengan manuver yang beragam. Ada yang mendapat “jatah komisaris dan direksi” BUMN dan anak perusahaan BUMN. Ada kelompok yang mulai berani “bernegosiasi” dengan capres dan parpol. Manuver yang kemudian membuat sebagian parpol terganggu.

Peran Relawan dalam Sejarah Indonesia

Saat Megawati Soekarnoputri masih dalam “isolasi politik” orde baru, beliau ditopang oleh relawan-relawan. Kelompok “civil society“, baik aktivis masyarakat dan mahasiswa bergerak membela Megawati secara sukarela. Para pengagum Bung Karno, ayahnya menjadikan Megawati sebagai simbol perjuangan dan perlawanan terhadap rezim otoriter orde baru. Puncaknya saat terjadi tragedi Sabtu kelabu, (27/7/1996), aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI (kini PDIP) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta dari tangan Megawati dan “relawannya”. Ada banyak korban jiwa, dan korban hilang hingga saat ini belum ditemukan. Mereka yang korban adalah sukarelawan, relawan yang mendukung Megawati tanpa pamrih, tanpa berharap jadi “komisaris BUMN atau staf khusus Menteri”.

Zaman pra kemerdekaan, para tentara rakyat pun adalah sukarelawan. Sukarelawanlah yang bergerak tanpa pamrih, baik bergerak terbuka maupun menjadi gerilyawan. Ada sukarelawan politik, sukarelawan tenaga medis, sukarelawan pengumpul dan pengantar makanan. Semua mengambil peran menjadi sukarelawan demi satu tujuan, Indonesia merdeka. Soekarno (ayah Megawati) dan Hatta adalah relawan politik, yang bergerak dan berjuang tanpa pamrih. Bahkan kedua relawan politik tersebut tidak merencanakan dan menginginkan sebagai Proklamator, lalu menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama.

Kritik Megawati Soekarnoputri terkait posisi dan peran relawan sesungguhnya tidak mengejutkan. Perubahan strategi dalam pencalonan Ganjar Pranowo sebagai Capres, tanpa “tekanan relawan” memberi pesan bahwa saat ini Parpol harus menjadi pemain utama, bukan relawan. Strategi tersebut tentu menjadi hak dari PDIP, sebab Ganjar Pranowo adalah kader dan petugas PDIP. Akan tetapi perubahan strategi tersebut seharusnya disampaikan dan dijelaskan dalam ruang- ruang tertutup. Penyampaian kritik terhadap relawan secara terbuka dapat memicu dan memacu sentimen negatif terhadap PDIP dan Capresnya Ganjar Pranowo.

Sejak Ganjar Pranowo menyampaikan pernyataan terkait keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia FIFA U20 yang direncanakan semula digelar di Indonesia. Relawan Jokowi dan relawan Ganjar berupaya keras meyakinkan masyarakat bahwa pernyataan tersebut sebagai bentuk keberpihakan kepada “bangsa yang dijajah dan ingin merdeka”, yakni Palestina. Tuduhan terhadap Ganjar sebagai “kelompok kanan” menguat dan akibatnya hasil survey Capres Ganjar menurun signifikan. Relawan terus bergerak meyakinkan rakyat bahwa Ganjar adalah kelompok nasionalis. Keberpihakan kepada Palestina adalah keberpihakan pada kemanusiaan. Kelompok relawan juga yang bekerja, bergerak secara mandiri memperkenalkan secara luas sosok Ganjar Pranowo, sehingga memuncaki hasil survey sebagai Capres. Saat PDIP baru “berani” mengumumkan Ganjar Pranowo sebagai Capres, Jumat (21/4/2023), relawan sudah bekerja “berani” jauh sebelumnya.