Selain Muzna, vokalis lain dari Karya Nada adalah Mali Umboh dan Sinyo Kalengkongan. Band ini sempat manggung di Jakarta Fair tahun 1974. Penampilan mereka mencuri perhatian. Usai mentas, musikus ternama Minggus Tahitoe mengajak Wieger dan Hasan untuk ngobrol di pelataran Monas. Mereka ditawari untuk menetap di Jakarta dan bergabung dengan dapur rekaman. Kontrak profesional sebagai home band di hotel Hayam Wuruk juga datang menggoda. Namun mereka memutuskan pulang ke Ternate lebih dulu. Wieger kebelet menikah. Yang lain harus meminta ijin keluarga.
Setelah pulang, Karya Nada masih terus jadi band pengiring. Karena tuntutan publik, mereka juga memainkan ragam genre musik terutama lagu-lagu pop. Tak berselang lama Hasan, Boy dan Dullah kemudian memutuskan balik ke Jakarta. Wieger tak ikut karena sudah menikah dan sibuk bekerja di PLN. Karya Nada terancam bubar ditinggal tiga personilnya. “Kami sudh di atas kapal saat pagar praja naik dan meminta kami turun” cerita Hasan. Bupati Jakub Mansur yang meminta aparatnya menahan Hasan dkk. Hari itu juga, ketiganya diminta menghadap Bupati. Tawaran jadi pegawai negeri sipil disodorkan tanpa opsi untuk menolak.
Hasan dan Boy memilih jadi pegawai. Belakangan karena banyak personilnya yang jadi pegawai, Karya Nada jadi identik dengan band daerah. Sibuk berkarir sebagai abdi negara membuat Karya Nada mulai mengurangi show mereka. Beberapa personil baru ikut bergabung. Regenerasi terus berlanjut. Hanya Dullah sendiri yang konsisten bermain musik. Ia sempat pindah ke Sorong lalu ke Manado untuk bergabung dengan Spektrum band. Dalam sebuah festival band rock di Makassar, Dullah terpilih sebagai drummer terbaik untuk kawasan Indonesia Timur sebagaimana dituliskan dalam majalah musik rock “Aktuil” asuhan Bens Leo.

Jika menilik kiprah Karya Nada dan jejak para pemain band saat itu, kita tak hanya terpukau pada kemampuan bermusik tetapi juga mendapati sebuah fakta penting. Masa itu, peradaban kota ini berada pada titik kulminasi yang menakjubkan. Musik tak hanya melahirkan kegembiraan tetapi juga menyatukan. Iramanya menerobos tembok perbedaan. Ia melintasi ruang dan waktu tanpa terdistorsi oleh dogma agama dan bias pruralisme. Musik dimainkan dengan guyub oleh orang-orang China, Arab, Kristen dan Islam secara bersama-sama.
Ada kedamaian yang tumbuh di antara tunas-tunas kreativitas anak-anak muda Ternate yang menolak kejumudan berpikir. Maka benarlah pendapat Jack Kerouac – penulis Amerika yang menginisiasi generasi beat yang melihat kapitalisme sebagai perusak semangat manusia dan bertentangan dengan kesetaraan sosial: satu-satunya kebenaran adalah musik.
Tinggalkan Balasan