Artinya, kata Julfikar, kehancuran daratan Maluku Utara dalang utamanya ialah pemerintah. Di sisi lain kehancuran di sektor darat erat hubungannya dengan laut, yang mana terancam limbah tambang hal ini tentu membuat nelayan semakin sulit. Belum lagi diperparah dengan krisis iklim yang membuat desa-desa pesisir harus tenggelam perlahan waktu.

“Sementara di selatan Maluku Utara, rakyat di Obi terus menyaksikan setiap waktu tegakan-tegakan pohon ditumbangkan dan tanahnya dikeruk, dan di Gane, semenanjung selatan Pulau Halmahera hamparan hutan primer bahkan Wilayah Kelola Rakyat harus kolaps dibabat habis kemudian ditukar dengan satu jenis tanaman sawit oleh PT Gelora Mandiri Membangun anak Usaha PT Korea Indonesia (Korindo) Group,” beber Julfikar.

Tidak luput di tengah hingga timur Pulau Halmahera pohon tumbang tanpa jeda mengikuti pengerukan tanah yang begitu massif dilakukan oleh puluhan korporasi nikel. Puluhan tambang nikel itu kemudian menyuplay material tanahnya ke PT IWIP (perusahaan asal Tiongkok-Cina).

“Lantas kehadiran mereka terus disebut pemerintah sebagai solusi kesejateraan, alih-alih mendatangkan justru nestapa bagi rakyat dan lingkungan hidup,” tegasnya.

Julfikar bilang, fakta di lapangan memperlihatkan sungai tersedimentasi dengan jumlah yang banyak membuatnya berubah warna sepanjang waktu, burung-burung kehilangan rumahnya, banjir menjadi langganan, bahkan orang miskin terus menjamur.

Badan Pusat Statistik (BPS) Malut merilis sepanjang tiga tahun terakhir (2018-2021) Halmahera Tengah dan Halmahera Timur mengoleksi orang miskin terbanyak di Maluku Utara dengan persentase tiap tahunnya tidak kurang dari 21 ribu jiwa.