Gaya dan cara mereka “para senior” tak sadar perlahan-lahan mendidik generasi dengan penampilan elitis walau tak ada pekerjaan, apalagi dengan menyodorkan argumentasi bahwa “hidup itu simpel, nikmati saja semuanya. Ayo merampok APBD daripada hanya segelintir yang mencicipi lebih baik kita ramai-ramai”. Ucapan seperti ini, akan membentuk mental generasi muda yang apatis terhadap kualitas integritas para aktivis apalagi senior dekatnya.

Karena itu, kedai kopi sebetulnya sebagai terminal intelektual, kita saling berbagi khasanah ilmu pengetahuan. Ketika berada di sana, anggaplah berbagai karakteristik orang-orang yang tampil adalah sebuah dinamika yang harus ditapis. Jika baik ambillah sebagai panutan dan jika buruk tentu hargailah itu sebagai perbedaan yang harus ditolelir. Namun kita juga perlahan harus memberikan argumentasi epistemologi yang membina generasi muda kedepannya.

Ada sebuah mitologi bahwa kopi adalah minumannya orang muslim. Sebab beberapa komunitas muslim di Yaman sejak abad ke-14, beberapa sufi sering menyajikan kopi terbaik untuk menarik jamaah mendatangi diskusi-diskusi yang mereka selenggarakan di malam hari. Suatu saat, ketika jamaahnya datang ke Makkah di musim haji dan mempraktikkan kebiasaan baru ini.

Minuman kopi menjadi makin terkenal, meski sempat menimbulkan kontroversi ketika Gubernur Makkah melarangnya dengan alasan-alasan politis. Sang gubernur takjub sekaligus curiga, orang-orang yang berkumpul minum kopi sambil mendiskusikan banyak hal itu bisa menimbulkan persekongkolan untuk menggulingkan kekuasaan.

Gubernur melaporkan perkumpulan kopi itu kepada Sultan Mamluk di Kairo. Isu minum kopi menjadi isu yang panas. Melalui perdebatan panjang yang melibatkan pakar-pakar fiqh, hakim/qadi, para dokter, dan pemimpin-pemimpin politik di seluruh dunia muslim, minum kopi akhirnya bukan hanya dianggap halal tetapi justru dianjurkan karena dinilai bermanfaat untuk pencerahan spiritual melalui jalan “markaha”.