Oleh: Arafik A Rahman

Penulis Buku Jejak Morotai: Perang Pasifik, Pemekaran dan Pembangunan

_______

KOPI dalam bahasa Arab disebut “qahwah” yang memiliki arti “kekuatan”. Kata qahwah ini kemudian berubah dalam berbagai bahasa menjadi “qahveh” (Turki), “koffie” (Belanda), “coffee” (Inggris), dan “kopi” (Indonesia). Dalam istilah masyarakat Hadrami atau Arab Yaman disebut qohwa, namun bila dilisankan mereka senang menyebutnya dengan nama “gahwa”.

Di Maluku Utara, anak muda sangat identik dengan kopi. Bisa dilihat hampir semua tempat-tempat ngopi nyaris dihuni anak muda, bukan sekadar menghabiskan waktu tetapi tempat kopi itu bagaikan kampus kedua. Berbagai macam isu terkini dan tugas-tugas akademik dibahas di sana.

Saya sering menyebut tempat kopi sebagai “terminal intelektual”. Bahwa di tempat kopi kita dapat menemukan ide-ide baru dari teman-teman yang berdiskusi, mendapat teman baru dan juga membentuk dimensi sosial yang kuat disana dalam menyatukan persepsi tentang ihwal intelektual. Namun sebaliknya jika yang dibahas kaitannya dengan perpolitikan, maka tentu akan menjadi ancaman terhadap sebuah kekuasaan.

Misalnya yang terjadi di Eropa saat revolusi Prancis, kopi sempat dilarang di sana. Menurut, Michelet, seorang sejarawan Prancis, dalam tulisan Mark Pendergrast tentang “The History of Coffee and How it Transformed Our World”, bahwa penemuan kopi sebagai revolusi yang menguntungkan dan mampu memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan memodifikasi temperamen manusia. Ide-ide yang beredar dalam diskusi di kedai-kedai kopi pada akhirnya terakumulasi dalam peristiwa Revolusi Prancis.

Parahnya, anak muda di Maluku Utara banyak yang terpolarisasi dengan gaya pragmatis. Sebab, sebelum ke kedai-kedai kopi idealisme mereka masih konsisten. Namun berjalannya waktu sebagian anak muda, terkontaminasi dengan sebagian senior yang kebiasaannya hidup bergantung dalam kekuasaan.