Selanjutnya di belahan bumi utara Halmahera, di kaki beringin ma jojaru tenggelam dalam air matanya dengan tenang. Bukan tanpa pertimbangan, ia mati karena percaya pada janji ma goduru untuk meminangnya. Di dusun Lisawa, ma goduru menghilangkan jejaknya tanpa pamit. Berbulan-bulan ma jojaru tinggal dalam akad untuk sehidup-semati, tetapi badai datang merampas teduh di dadanya. Ma goduru bersanding dengan perempuan lain, tetapi ma jujaru yang malang tak melawan dengan menyusun siasat mencari pengganti, ia memilih mati dengan air matanya sendiri. Kabarnya dari sanalah sumber mata air yang membentuk talaga biru di Galela.
Kini kita beranjak mengecap buah imajinasi Romo Mangunwijaya, angin sibu-sibu mengantar Leoma-Dara mencium bau darah mentah. Matanya yang purnama merekam tanpa jeda puing-puing kekalahan, kekuasaan telah membantai habis seluruh penghuni Dowongi-jo, ia menjadi piatu (homa) dalam rantai pangan kekuasaan di Maluku Utara. Mungkin Leoma-Dara dibiarkan hidup oleh Romo Mangun, sepertinya ia dihukum memikul seluruh perih dari ingatan pembantaian.
Kehidupan orang-orang ini memang berlangganan dengan darah, dada dan doku. Ajang balas-membalas, jajah-menjarah, rampok-merampas dan tahta-menaklukkan. Konon tipikal orang Maluku Utara seperti itu, setidaknya tergambar dalam Ikan-ikan Hiu Ido Homa.
“Harta sebesar itu hanya mengundang para perampok dan mudah mengalirkan darah. Dari mana kekayaan itu? Dari ketololan kakek-kakek serakah, serigala-serigala laut Dowingo-Jo dulu. Orang-orang yang berpenghasilan pokoknya memang merampok, takut sendiri kalau tiba gilirannya dirampok. Mereka menjadi sangat kikir dan selalu curiga cemburu kepada sanak saudara atau anggota keluarga sekalipun. Hatinya sudah membeku menjadi emas dan perak. Maka diam-diam orang ini di malam buta bila bini-bini mereka sudah pulas tertidur, membuka gembok peti-peti harta mereka dan dengan mata hijau dan kuning berkilau, wajah menyeringai puas, mereka memandangi uang-uang dinar, gulden, pound, real, persetos yang berkilat-kilat di bawah pelita minyak kelapa: mereka menyeka sayang emas dan perak itu seperti membelai dada-dada bini mereka” (Mangunwijaya, 2015:84).
Negeri Para Raja-raja
Sepenggal kata-kata yang dipungut di atas menegaskan bahwa darah, dada dan doku adalah simbol kekuasaan. Bahkan seorang anak usia 10 tahun menjadi upeti untuk mendamaikan konflik kekuasaan, putri priyayi yang dibantai berkali-kali. Lalu atas dasar kemurtadan kepada tanahnya Nukila terkubur meski pernah memangku gelar sultanah.
Tinggalkan Balasan