Oleh: M. Kubais M. Zeen*

Indah Sari Hamid**

*Editor, pernah penulis tamu untuk literasi Koran Tempo, Makassar
** Alumni Sastra Inggris Universitas Khairun, Staf Disarpus Malut

______
Jika anak-anak hidup dengan persahabatan,
mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.”
(Penggalan puisi Dorothy Law Notle)

DARA berparas Eropa itu kami kenal 16 tahun lalu. Bukan kenal langsung, tidak pula di media sosial yang oleh novelis internasional Stephenie Meyer disebut tak banyak manfaatnya. Tapi, dari buah pena sejumlah aktivis hak dan perlindungan anak di mercusuar timur Indonesia: Makassar. Juga laman, tanpa kecuali laman LHM University of Oxford, United Kingdom, yang kami permak seperlunya untuk sandaran di ruang terbatas ini.

Dialah Eglantyne Jebb. Lahir 146 tahun dua belas hari lalu di Ellesmere Shropshire, Inggris, dari pasangan Arthur Jebb dan Lousia Jebb. Kedua orangtuanya menapaki hidup sederhana, sekalipun kaya harta. Terkenal punya kesadaran sosial tinggi, kukuh dengan komitmen dalam pelayanan publik, sepenuh cinta mengasuh dan mendidik anak-anak.

Sebagai anak, Eglantyne memperoleh haknya bermain dan sekolah. Ia gemar membaca berbagai buku di perpustakaan di dalam rumah yang dibangun sang ayah. Banyak pula menyendiri, melamun–sembari menikmati jalan soliter ini, ia sendirian ke desa-desa, mencintai orang biasa, dan sangat membenci “wajah” buruk sistem kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Beranjak dewasa, Eglantyne menimba sejarah di Lady Margareth Hall, University of Oxford, dan terkenal sebagai mahasiswa energik dalam beradu pendapat. Tahun 1898, setelah meninggalkan salah satu universitas tersohor sejagat itu, ia menyanggupi ajakan janda sejarawan dunia, Arnold Toynbee, mengikuti pelatihan guru di sebuah perguruan tinggi.