Kedua, perlunya sistem pengawasan yang memadai untuk aktivitas lembaga filantropi. Walaupun sebagian masyarakat memiliki perspektif bahwa dorongan untuk memberikan sumbangan baik langsung atau melalui lembaga amal merupakan perintah agama. Tindakan berderma cukup memberikan, persoalan pengurus akan melakukan manipulasi itu adalah dosa mereka. Padahal, hakikatnya sumbangan yang telah diberikan harus dipastikan dapat bermanfaat bagi yang berhak menerima, agar dapat mengurangi kesulitan.

Lembaga filantropi saat ini izinnya melalui Kementerian Sosial, yaitu izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB), di mana lembaga amal yang menerima uang dan barang bertujuan untuk membangun dalam bidang kesejahteraan sosial/mental/kerohanian/kejasmanian/pendidikan dan kebudayaan. ACT telah memenuhi izin tersebut. Persoalannya adalah belum ada pengawasan yang efektif dari kementerian terkait untuk aktivitas lembaga filantropi. Seperti kewajiban lembaga untuk memberikan laporan aktivitas setiap bulan dan tahunan, termasuk laporan keuangan yang dapat diakses oleh masyarakat, memiliki ukuran kinerja yang terukur mulai dari proses pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian dengan menggunakan kategori/kelompok, bila lembaga tersebut memiliki donatur dari luar negeri dan menyalurkan bantuan ke luar negeri harus memenuhi persyaratan pemeriksaan dana untuk menghindari praktik pencucian uang (money laundering).

Ketiga, akuntabilitas memiliki manfaat penting bagi semua organisasi. Berbeda dengan organisasi profit, cenderung memperhatikan aspek kinerja berupa laporan laba/rugi. Tetapi pada organisasi filantropi, masyarakat lebih memperhatikan akuntabilitas kinerja amal. Organisasi apapun jenis atau ukurannya, akuntabilitas menjadi wajib untuk diimplementasikan.

Secara umum, makna akuntabilitas adalah praktik rasional untuk memastikan pemenuhan tanggung jawab dari individu atau lembaga yang telah menerima tugas dari individu atau masyarakat lainnya (Velayutham dan Perera, 2004). Pada konteks Islam, akuntabilitas bermakna amanah. Individu atau lembaga diberikan amanah untuk menyelenggarakan tugas, karena pemberi amanah meyakini penerima amanah mampu untuk memenuhi tugas tersebut. Karena itu, akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi akuntabilitas vertikal, menjalankan perintah Tuhan dan akuntabilitas horizontal, memenuhi kewajiban kepada umat.

Pengurus organisasi filantropi, khususnya ACT, mestinya menyadari bahwa sejak mendirikan dan merumuskan visi lembaga, itu berarti telah mengikatkan kontrak perjanjian dengan Tuhan dan masyarakat, baik dengan penderma atau bukan penderma untuk menyelenggarakan tugas amal. Karena itu, bila terjadi praktik manipulasi maka konsekuensinya pengurus telah melanggar kontrak dan berbuat kerusakan (tidak amanah).
Akuntabilitas memiliki konsep yang terdapat dalam etika dan tata kelola. Etika mengatur sikap dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi, termasuk budaya kerja. Mekanisme kerja organisasi membutuhkan struktur organisasi yang memadai untuk mendukung terwujudnya visi organisasi. Semua itu akan tercermin dari aktivitas yang menjadi tanggung jawab pengurus organisasi sejauh mana amanah telah dijalankan.

Bentuk praktik dari akuntabilitas lembaga filantropi mengharuskan lembaga mematuhi semua hukum dan standar etika yang berlaku; merencanakan dana menjalankan misi lembaga secara saksama dan terukur untuk mewujudkan visi lembaga; menyajikan informasi non keuangan yang relevan dengan aktivitas filantropi; memperhatikan perlindungan hak dan kewajiban anggota lembaga; bekerja disiplin sesuai mekanisme lembaga; menyiapkan dan menyajikan laporan keuangan sesuai standar.