Keberadaan ACT berimplikasi kepada gerakan modal sosial yang terinstitusi. Halachmi (2007) berargumentasi, kebaradaan lembaga sosial menggerakkan individu, kelompok, dan entitas (perusahaan) bersimpati melakukan aksi sukarela (voluntire) berbuat kebajikan membantu pihak lain yang terdampak kesulitan. Negara, dapat melakukan tindakan tersebut sebagaimana amanah konstitusi di beberapa negara namun, akan berdampak pada neraca pengeluaran. Dampak tersebut bisa ditutupi dengan penarikan pajak, konsekuensinya akan buruk pada agregat makro ekonomi. Untuk itu lembaga sosial menjadi alternatif berkontribusi mengurangi kesulitan.
Pada lembaga sosial dengan prinsip untuk membantu, mampu menggerakkan simpati masyarakat menyisihkan sebagian dana tanpa janji manfaat timbal balik dan tanpa batasan tarif atau nominal. Masyarakat berpenghasilan besar tidak selamanya menyisihkan dananya besar. Begitu pun sebaliknya, masyarakat dengan penghasilan kecil bukan berarti akan memberikan kecil. Sebab, Bussell dan Forbes (2001) menemukan ada beberapa faktor penggerak orang/lembaga mau berdonasi, karena dorongan perintah agama, regulasi pemerintah, filnatropi bisnis, manfaat perpajakan, dan kepercayaan. Dengan dorongan itu, kapitalisasi arus masuk dana pada akun ACT setiap tahun semakin bertambah.
Dugaan Praktik Manipulasi
Sorotan publik semakin kuat saat pemberitaan investigasi majalah Tempo, bahwa ACT telah menyelewengkan sebagian dana umat untuk memenuhi kemewahan gaya hidup para pemimpin, pendiri, dan pejabat yayasan. Dari pemberitaan itu, penulis akan menganalisis tiga dugaan praktik manipulasi.
Pertama, menurut pemberitaan tersebut, salah satu item pengeluaran terbesar adalah menggaji pendiri dan mantan presiden ACT yang jumlahnya Rp 250 juta per bulan, kemudian pejabat Senior Vice President Rp 200 juta, Vice President Rp 80 juta, dan Direktur Eksekutif memperoleh gaji Rp 50 juta. Selain itu, para pejabat ACT disediakan fasilitas kendaraan yang mewah.
Praktik manipulasi yang dilakukan pengelola ACT, dengan memotong dana donasi 20-30 persen sejak 2015-2019. Sejak tahun 2020 sampai sekarang besaran pemotongan diubah menjadi sebesar 30 persen. Namun, penjelasan dari Ibnu Khajar selaku pejabat ACT yang dipotong sebesar 13,75 persen setiap tahun dari jumlah donasi yang diterima. Meskipun demikian, jumlah yang dipotong sangat besar untuk organisasi amal (Kompas, 6/7/2022).
Kalau kita analisis dalam konteks hukum positif dana bantuan mencakup juga dana keagamaan berlaku ketentuan Pasal 6 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Di dalam aturan ini menyebutkan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan adalah sebanyak-banyak 10% dari hasil pengumpulan sumbangan. Sedangkan, bila kita lihat pada konteks Islam, dapat juga berlaku ketentuan Pasal 67 ayat (2) PP No. 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Aturan itu menyebutkan bahwa besaran hak amil untuk biaya operasional aktivitas, penetapannya berdasarkan pada syariat Islam dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas, dan efisiensi.
Tinggalkan Balasan