Oleh: Iqbal M. Aris Ali
- Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun
- Ketua Kompartemen Pendidikan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI-KAPd) Provinsi Maluku Utara
______
BERAWAL dari temuan jurnalis Kompas yang mengungkap praktik manipulasi dana amal (charity fund) pada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Organisasi filantropi ini termasuk terbesar di Indonesia. ACT, sesuai namanya, program yang dilakukan bersifat tindakan tanggap darurat, pemulihan pascabencana, dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu juga program lain yang dikembangkan adalah kurban, zakat, dan waqaf. Untuk menghidupi program tersebut, ACT mengandalkan sumber penerimaan dari donatur individu maupun kelompok. Seperti penerimaan dana melalui kemitraan dan tanggung jawab sosial (corporate social responcibility/CSR).
Laporan keuangan yang diunggah pada laman www.act.org menunjukkan jumlah penerimaan kas dan setara kas periode 2019 sebesar Rp 8,8 miliar. Sedangkan pada periode 2020 sebesar Rp 6,8 miliar. Pada situs tersebut laporan keuangan sejak 2005 sampai dengan 2020 dipajang dan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Namun, periode 2021 sampai kasus diungkap belum ada laporan keuangan periode 2021.
Dalam laporan keuangan periode 2020, ACT menegaskan capaian aksi yang telah diselenggarakan. Aksi yang telah dilakukan sebanyak 281.000 untuk penyelamatan dan pembangunan kehidupan bangsa yang telah dirasakan 8,7 juta jiwa. Menurut mereka, 1,6 juta telah menerima makanan bergizi dan berjumlah 41.000 orang telah menerima pendidikan yang layak. Mereka meyebutkan juga, sebanyak 466.000 orang telah tertolong dari dampak bencana dan telah menyalurkan bantuan kemanusiaan secara global sebesar 1,4 juta orang.
Di samping itu juga, ACT menyebutkan telah memberikan pelayanan kesehatan yang memadai sebanyak 400.000 orang. Dari total aksi sepanjang tahun 2020, telah berhasil memberikan bantuan kepada 4.753.000 orang.
Dari cerita aksi yang telah dipublikasi dalam laporan keuangan, patut kita memberikan apresiasi kepada lembaga filantropi yang satu ini. Mereka bergerak secara masif ketika ada bencana atau persoalan sosial. Dari bantuan fisik berupa pembangunan masjid dan gedung sekolah sampai pada bantuan makanan dan pendidikan. Aksi sosial mereka bukan saja di negara Indonesia tempat ACT bermukim tetapi telah merambah ke 22 negara di kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Indocina, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur.
Dari pemaparan kinerja sosial di atas, bila menggunakan teori Resource Dependence (Pfeffer dan Salancik, 2007), lembaga ACT memiliki kemampuan untuk mencapai kinerja dengan mengurangi ketergantungan, dengan faktor pendukung berupa, manajerial yang memadai, diversifikasi produk dan pasar, dan keterlibatan dewan. Secara umum, kita sepakati bahwa lembaga seperti ACT sangat bergantung pada faktor eksternal, yaitu donatur. Dengan pengetahuan manajer yang memadai akan mampu membangun jejaring untuk menyakinkan kepada donatur program aksi sosial yang direncanakan dan kontribusi sosial yang telah dirasakan masyarakat, serta kepercayaan dari pelbagai kelompok masyarakat, negara dan swasta, dengan selalu memperhatikan saran dan nasihat dari dewan pengawas.
Tinggalkan Balasan