Di tengah hingar bingar pembangunan segala sektor yang merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara, ekonomi menjadi sektor dimana harapan kesejahteraan disandarkan. Sejauh ini, mengeksploitasi pesona pulau-pulau dan bawah lautnya untuk konsumsi wisatawan dan untuk pendapatan daerah, sayangnya, belum tampak memuaskan harapan banyak pihak. Tentu saja, sumberdaya mineral/tambang adalah lokus pendapatan yang di atas kertas sangat menguntungkan pemerintah daerah. Tetapi proses eksploitasi tambang di beberapa pulau relatif sedang saat ini menimbulkan pertanyaan “apakah pola sejarah—bukan peristiwa atau bentuk—Maluku Utara akan berulang, merana lagi sesudah dieksploitasi?” Ini pertanyaan yang menuntut jawaban.

Saat yang sama, seperti perubahan fisikal alam kepulauan dengan pesonanya, masyarakat penghuni pulau-pulau itu juga berubah. Rempah cengkih dan pala tak lagi sepenuhnya diandalkan sebagai sumber pendapatan. Bahkan pemanfaatan jenis rempah ini dalam kuliner dan obat-obatan maupun untuk kepentingan ritual pun mungkin telah berubah; berkurang atau punah. Rempah sendiri bukan lagi obyek misterius yang dicari dengan pengorbanan jiwa-raga orang Eropa seperti di masa lalu. Namun, sejarah rempah cengkih dan pala di masa lalu tampak menghantui dan menjadi beban sejarah bagi beberapa pihak—jika bukan kebanyakan orang– di Maluku Utara. Bagi pihak-pihak ini, seperti pemerintah kota Ternate dan beberapa kalangan dari kaum muda intelektual, bagaimana posisi penting wilayah Maluku Utara di dunia masa lalu “dikembalikan” ke masa kini.

Pertanyaan menantang di atas lahir dari beban sejarah rempah di atas. Ini yang saya katakan pada malam dialog mengenai branding Ternate sebagai “Kota Rempah”, tepat pada malam penutupan kegiatan “Ternate Membaca ke-5”, 26 April lalu. Kata “rempah” yang selalu terdengar setiap tahun melalui percakapan personal, diskusi di kafe, dan malam ini, merefleksikan beban sejarah yang barangkali tak disadari, di bawah sadar, kebanyakan orang Maluku Utara saat ini. Pertanyaan ‘bagaimana’ posisi penting di dunia di masa lalu itu dikontekstualisasikan di masa kekinian, merupakan beban sejarah yang saya maksudkan.

Branding Ternate sebagai “Kota Rempah” sekurangnya menunjukkan “ikhtiar kecil” dengan cara bertahap melunasi beban sejarah di atas. Sebuah upaya menautkan masa lalu pada masa kini melalui idetitas kota. Identitas yang, karena itu, memperoleh pembenarannya dalam sejarah rempah itu sendiri. Tidak berarti atau tidak harus bahwa, dengan branding itu Ternate dan Maluku Utara serta merta populer lagi di dunia. Identitas bersifat relasional. Penanda identitas menjadikan seseorang, sekelompok orang, sebuah pulau, distinktif dari “yang lain”. Tetapi tak berhenti pada distingsi ini. Membutuhkannya atau pun tidak, identitas senantiasa memperoleh perhatian, dan pengakuan dari “yang lain”. Di situ terletak masalah, atau yang saya pikir sebagai masalah.

Dari perspektif Peircean, makna dari sesuatu ditentukan oleh keterlibatan perseptual seseorang dengan sesuatu itu (Andrew Jones, 2007:p.224), yaitu benda-benda, obyek, teks yang menjadi penanda identitas. Memilih frase “Kota Rempah” sebagai teks penanda identias Kota Ternate akan membimbing subyek yang memersepsinya untuk menemukan referent-nya (acuan) pada kenyataan faktual. Singkatnya, frase pada branding menuntut penyediaan supra dan infrastruktur rempah, dan melibatkan partisipasi masyarakat Kota Ternate. Di situlah, barangkali, ‘pengakuan’ itu lahir dari “yang lain”.

Satu pendapat yang muncul di dalam dialog malam itu, bahwa branding pada akhirnya mesti bermuara pada peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat. Tetapi ini bisa terjadi jika masyarakat dilibatkan atau terlibat secara partisipatif. Beban sejarah dan tindak lanjut merealisasikan penanda kota, dengan demikian, dipikul bersama semua pihak. Branding “Kota Rempah”, karena itu, berimplikasi jauh, ke atas kepada pemerintah dan ke bawah kepada masyarakat kota Ternate. Sejarah rempah, karena itu, senantiasa menjadi beban bagi Kota Ternate, dan umumnya wilayah Maluku Utara. (*)