Tandaseru — Pengusaha di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, mendesak pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah yang mengatur pelibatan pelaku usaha lokal dalam tiap investasi. Perda ini dinilai urgen untuk menurunkan angka kemiskinan di daerah.
Salah satu pengusaha asal Haltim, Sukri S Domo, menyatakan dinamika ekonomi akhir-akhir ini benar-benar mencengangkan, terutama setelah data BPS menempatkan Haltim sebagai kabupaten termiskin di Maluku Utara.
“Tentu sebagai lembaga yang berwenang rilis data ini dari tahun ke tahun tidak menunjukkan presentase (kemiskinan) yang cenderung turun tetapi justru punya tren naik. Ini mengakibatkan muncul pertanyaan dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, birokrasi, LSM, aktivis, mahasiswa, pengusaha juga masyarakat,” ujar Sukri kepada tandaseru.com, Minggu (27/3).
“Pertanyaan-pertanyaan itu cenderung menyoroti data BPS tersebut dan mengaitkan dengan kinerja pemerintah daerah. Selain itu rasa tidak percaya muncul sebagai respon akan maraknya aktivitas pertambangan dan jumlah IUP yang kurang lebih hampir 100 ribu hektare milik beberapa perusahaan tambang di dalam kawasan Kabupaten Halmahera Timur,” sambungnya.
Sukri bilang, ia telah menggarisbawahi beberapa hal terkait angka kemiskinan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan eksploitasi terhadap sumber daya pertambangan yang ada.
“Argumentasi apa yang harus dipakai untuk menyanggah data yang dirilis oleh lembaga yang ditunjuk negara tersebut. Kita semua harus melihat itu secara proporsional dan profesional agar dapat menyimpulkan sebuah penerimaan atas fakta tersebut atau menolak kenyataan tersebut dengan argumentasi banding, bahwa Halmahera Timur adalah kabupaten terkaya dan jauh dari kemiskinan,” jabarnya.
“Persoalannya ada di mana, dan solusinya bagaimana, ini yang akan saya tawarkan sebagai ikhtiar saya menyumbang pemikiran yang produktif terhadap daerah,” imbuh Sukri.
Menurutnya, hal pertama yang menjadi persoalan adalah akses pada pusat-pusat produksi masyarakat belum semua terkonek. Alhasil, distribusi barang jasa terhalang dan biaya operasional membengkak.
“Ini menyebabkan harga komoditas masih jauh dari harga pasaran yang semestinya. Sebut saja Maba Utara dan Wasile Utara,” tuturnya.
Kedua, kepastian pasar atas komoditas lokal. Mestinya seiring dengan upaya membangun konektivitas antar kecamatan, pemerintah harus mempunyai skema untuk mendekatkan pasar dengan sumber-sumber produksi masyarakat. Baik melalui belanja lokal atau menghadirkan investasi sektor lain yang berhubungan dengan potensi wilayah yang ada.
“Ketiga, dukungan atas UKM, koperasi, bumdesa, pengusaha lokal, dalam rangka mengambil peran untuk membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya sehingga kemiskinan dalam angka-angka itu bisa ditolerir dan ekonomi lokal berkembang. Multiplier effect-nya terasa,” terangnya.
Daerah dengan potensi pertambangan, komoditas pertanian, perkebunan dan perikanan yang begitu besar, Sukri berujar, sangat tidak relevan jika ‘prestasi’ kemiskinan itu dipertahankan. Karena itu, selain 3 hal mendasar di atas, kekurangan lain adalah minimnya kolaborasi dan komunikasi dengan pelaku usaha.
“Sebagai Bendahara HIPMI Kabupaten Halmahera Timur, saya meminta agar pemerintah dan DPRD menggagas perda kaitannya dengan pelibatan pelaku usaha lokal, baik itu koperasi, UMKM, perseorangan, CV, bahkan UD dalam setiap investasi yang ada di daerah. Baik itu pertambangan dan investasi di sektor lain. Bagi saya sudah sangat jelas sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Investasi, juga Keputusan Menteri Investasi Nomor 8 Tahun 2021, bahwa setiap investasi harus melibatkan pengusaha lokal, UMKM, koperasi, bumdesa dan pelaku usaha lainnya,” ujarnya.
Tinggalkan Balasan