Oleh: Igrissa Madjid
Mahasiswa Program Studi Hukum Bisnis STH Indonesia Jentera
______
BAIKNYA kita berpolemik karena gagasan, bukan perumpamaan. Gagasan itu adalah yang mengaktifkan keakraban warga negara, bukan perumpamaan yang memecah belah kita sebagai satu bangsa. Kalau saja itu muncul dari mulut pejabat negara, baiknya kita kritisi karena tidak mengandung etika. Tapi kalau itu dibiarkan, akan menjadi kebiasaan sehingga kata-kata yang muncul dari pejabat negara adalah hal biasa.
‘’Awwweeeee semua orang marah-marah karena Menteri Agama,’’ begitu persisnya reaksi seorang teman dari seberang tentang pejabat negara dengan dialek khas bahasa daerahnya. Tapi soal perumpamaan yang keluar langsung dari mulut Menteri Agama adalah satu dari sekian rentetan peristiwa berbahasa kita belakangan ini. Perumpamaan meskipun bukan hal yang dilarang dalam dinamika berbahasa, hanya saja perlu dikemas dengan nilai etik dan menarik sehingga tidak memancing publik. Namun, lagi-lagi soal gaya berbahasa harus diantisipasi oleh penuturnya sendiri. Bagi pejabat negara, setiap tuturannya besar kemungkinan akan bermakna luas terhadap pendengarnya. Dan, bisa saja bermakna bias menurut penerimanya.
Kembali pada perumpamaan yang dikemukakan Menteri Agama yang sedang santer saat ini mengingatkan kita pada filsafat nilai yang ditanamkan Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Takdir, yang digambarkan Frans Magnis Suseno (2002), bahasa adalah pembeda antara manusia dan hewan. Karena hewan tidak memiliki indikator penilaian terhadap eksistensi kedirian manusia. Karena itu, dalam penyesuaian manusia dengan lingkungan dalam pengembangan dirinya, manusia dalam gemilau pemikiran Takdir kerap mengandalkan kemampuan budi yang dimilikinya.
Memang, pernyataan Menteri Agama adalah upaya untuk meng-eufemisme perkataannya sebagai simbol perbedaan antar warga negara. Karena itu, ia hendak mengajukan sebuah pernyataan yang halus, namun justru berpijak dari premis yang sama sekali memantik emosi publik. Jika pernyataan itu adalah silap lidah atau sebagai manusia biasa dia punya kekhilafan, maka rasanya tidak. Ini hanya soal relativitasnya menggunakan kata-kata, bukan kealpaannya sebagai pejabat negara.
Bijak Berbahasa Adalah Kunci
Nyelekit memang rasanya ketika bahasa disembunyikan kebenarannya. Mengabaikan kebaikannya demi melanggengkan jabatannya. Akibatnya, bahasa bukan lagi alat penyampaian rasa dan karsa, tetapi sebagai alat politik elite yang berakhir pemecah belah bangsa.
Tinggalkan Balasan