Cerita terus berlanjut dan baru berhenti saat istri Pak Mus mengajak makan.

“Ayo makan,” ajak istri pak Mus. Tak sadar, rasa lapar tidak tertahan. Di malam itu juga kami bersama-sama Pak Mus dan istrinya makan apa adanya.

 

Mengisi Kemerdekaan

Mengisi kemerdekaan sama halnya kita berupaya menghidupkan literasi dan edukasi masyarakat.

Embun belum jatuh dari deduanan. Batang belum kering, dan akar pohon masih terus hidup lalu menjalar ke seluruh hutan demi menghidupkan kampungnya. Anak-anak sekolah berjejer berangkat ke sekolah, dan sebagiannya masih dalam gendongan ibu.

Mereka terlihat merdeka setengah hati. Mengamati merah putih yang melekat di tubuh anak-anak bagian dari mencintai nasionalisme, lalu dilupakan perhatian pemerintah dalam kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sepertinya kita berpetualangan di dalam jantung hutan dengan mendengar cerita Ketua RT 10 Kampung Talaga, Madjid, tentang lika-liku kehidupan di kampung Talaga yang penduduknya hanya 30 KK. Sebab di era kepemimpinan Wali Kota Achmad Mahifa kampung Talaga sudah menjadi desa, namun dalam perjalanannya status ini dihilangkan tanpa dasar yang jelas.

“Banyak pemuda pemudi dan ibu PKK, tetapi sebagian persen sudah menikah dan meninggalkan kampung Talaga,” ungkap Pak Madjid.

Suasana di pagi itu sangat dingin. Saya, Rustam, dan Imran, melangkah dari rumah menuju sekolah SD Talaga. Hari itu, tepat di 13 Agutus 2018, dalam pandangan saya, sekolah yang masih hidup dan berada di tengah hutan, salah satunya pendidikan formal yang di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tetapi dibaikan.

“Bagi saya, salah satu jalan menghidupkan pendidikan adalah literasi. Sebab merdeka tak harus mengucap kemerdekaan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, namun esensinya, edukasi membaca, menulis, dan berkarya itulah kuncinya,” ungkapnya.

Sesuai kesepakatan sebelumnya, tujuan kami bertiga ke kampung Talaga puncak berbagi kemanusiaan berupa  buku tulis 2 pak, pulpen 1 lusin, dan bola kaki 4 buah.

Rumah yang kami inapi tidak jauh dari sekolah. Ketika tiba di halaman sekolah, siswa-siswi SD Talaga sedang menaikkan bendera merah putih tanpa menjadi penggerak bendera, inspektur upacara, pembacaan teks Undang-undang Dasar 1945. Mereka berkumpul dengan cara mengikat bendera Merah Putih, lalu menaikkan begitu saja.

“Kok, kenapa tidak ada upacara hari Senin. Apakah jumlah siswa dan guru tidak cukup ataukah upacara di hari Senin ditiadakan?” tanya saya.

Sebelum membagi peralatan alat tulis ke siswa, saya, Rustam, dan Imran menemui salah guru bernama Ibu Rosita. Ia adalah guru honorer yang punya kerendahan hati mau mengajar anak-anak di kampung Talaga.

Anak-anak SD Talaga. (Mansyur Armain)

Dalam suatu pertemuan, Rosita menyatakan, kondisi sekolah SD Talaga bahwa di setiap hari Senin tidak ada upacara bendera. Ia bilang, siswa yang berada di SD Talaga sekitar 13 orang siswa.

“Saya dan Ibu Erna yang sering mengajar di sekolah SD Talaga. Sedangkan kepala sekolah datang hanya Senin-Kamis saja. 13 orang siswa di sini digabung menjadi satu kelas yang terbagi dari siswa kelas 1 berjumlah dua orang, siswa kelas 2 berjumlah satu orang, siswa kelas 3 berjumlah dua orang, siswa kelas 4 berjumlah dua orang, siswa kelas 5 berjumlah dua orang, dan siswa kelas 6 berjumlah 1 orang,” cerita Rosita.