Pedagang pasar, yang biasanya bisa diharapkan mendongkrak jumlah penumpang, lama-kelamaan sebagian besar tak naik busnya lagi.
“Penumpang orang pasar itu ada 5 sampai 6 orang,” kata dia.
Sebelum Covid-19 merebak, pada hari besar, dalam sehari May bisa meraup penghasilan Rp 700 ribu. Kini, Rp 100 ribu pun sulit didapat.
“Kalau ramai penumpang seperti puasa, lebaran dan tahun baru saya bisa dapat sampai Rp 700 ribu. Tapi selama satu tahun kemarin saya so tara bisa capai sampe Rp 700 ribu. Sehari paling cuma bisa dapat Rp 100 ribu saja,” tuturnya.
May mengisahkan, yang paling miris adalah pernah dalam perjalanan dari Morotai Jaya ke Morotai Selatan sama sekali tak ada penumpang. Padahal ia melewati empat kecamatan.

“Saya sering alami cari penumpang dari Sopi ke Daruba, saya cari penumpang kosong. Kadang kalau bajalang tarada penumpang saya pinjam bini (istri, red) pe uang di kios untuk isi bensin. Kadang juga satu minggu kita tara bisa keluar karena tidak ada minyak,” kisahnya.
“Saya pake Dexalite, biasa isi Rp 200 ribu 22 liter. Kalau pendapatan sehari cuman Rp 50 ribu, saya tara bisa isi minyak sampe sebanyak itu,” tambah May.
May pun terpaksa memberhentikan kernet busnya. Ia tak mampu lagi menggaji. Sekadar membelikan rokok pun May menyerah.
“Kalau pakai onder (kernet, red), saya tako pas tara dapat penumpang kong tara bisa bayar dong pe gaji per hari atau dong pe uang rokok,” terangnya.
Kadang, penumpang May yang sudah sedikit itu menawar tarif bus. Ada pula yang diberinya tumpangan gratis.
Tinggalkan Balasan