Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
“Wakil rakyat yang miskin buku, tidak hanya gagal membaca kata,
tetapi juga gagal membaca dunia rakyat yang diwakilinya”
_________
AKSI besar-besaran di akhir Agustus lalu, yang berujung pada penjarahan beberapa rumah mewah anggota DPR RI, ternyata menyisakan tanya tentang kapasitas wakil rakyat. Anehnya, dari rumah mewah anggota DPR RI yang dijarah dan beredar di media sosial, tak ada buku yang ditemukan di sana. Ini hanyalah gunung es, dari sekian banyak anggota DPR RI dan (kemungkinan) anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, tak banyak yang memiliki buku di ruang tamunya yang mewah. Dengan realitas itu, bagaimana rakyat yang telah memilih mereka sebagai wakil rakyat mampu mengagregasi kepentingan rakyat. Sebaliknya mereka justru berebut tunjangan dan berbagai fasilitas negara tanpa malu.
Dalam demokrasi modern, wakil rakyat seharusnya hadir sebagai figur intelektual sekaligus politisi yang memiliki wawasan luas dan berkomitmen pada pendidikan politik masyarakat. Namun, realitas di Indonesia memperlihatkan paradoksalitas. Banyak anggota legislatif yang justru miskin bacaan, jauh dari tradisi literasi, dan abai pada budaya menulis. Fenomena ini acapkali disebut sebagai “wakil rakyat tanpa buku”, sebuah ironi dalam kehidupan politik bangsa yang seharusnya bertumpu pada pengetahuan dan gagasan.
Hubungan antara literasi dan demokrasi telah lama disorot para pemikir. Beberapa ahli menekankan, membaca bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan sebuah proses kritis memahami realitas sosial dan politik. Jika wakil rakyat miskin literasi, maka ia cenderung tidak mampu memahami persoalan masyarakat secara mendalam. Hal ini mengakibatkan produk legislasi hanya bersifat pragmatis, teknis, bahkan kerap sekadar mengakomodasi kepentingan elite. John Dewey dalam Democracy and Education menyebutkan bahwa pendidikan dan kebiasaan membaca merupakan syarat bagi keberlangsungan demokrasi. Tanpa pengetahuan yang memadai, demokrasi hanya menjadi formalitas prosedural (Dewey, 1916:105). Di sinilah problem utama wakil rakyat kita: ketika sebagian besar dari mereka lebih sibuk memburu kekuasaan dan keuntungan finansial, daripada membangun basis intelektual untuk memperkuat fungsi representasi.
Budaya politik di Indonesia acapkali lebih menekankan pada kemampuan retorika, lobi politik, atau kekuatan finansial dibandingkan rekam jejak intelektual. Padahal, di banyak negara maju, para legislator dituntut aktif menulis, meneliti, atau setidaknya memiliki koleksi gagasan dalam bentuk buku maupun publikasi ilmiah (Norris, 2011:144). Buku menjadi medium pertanggungjawaban intelektual sekaligus bukti dedikasi mereka pada kerja-kerja pengetahuan. Sayangnya, hanya segelintir wakil rakyat Indonesia dan di daerah yang menulis buku, sementara mayoritas lebih banyak melahirkan pernyataan populis di media massa. Fenomena ini diperparah dengan menurunnya budaya membaca di kalangan elite politik. UNESCO pernah mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, hanya sekitar 0,001% yang benar-benar gemar membaca. Jika rakyat yang diwakili saja miskin bacaan, dan wakilnya pun tidak menjadikan buku sebagai landasan berpikir, maka wajar jika kebijakan publik kerap kehilangan visi jangka panjang.
Konsekuensi dari “wakil rakyat tanpa buku” adalah lahirnya politik tanpa wawasan. Perdebatan di parlemen acapkali dangkal, terjebak dalam sensasi, atau sekadar mempertontonkan konflik kepentingan. Politik seolah kehilangan orientasi sebagai ruang adu gagasan, berubah menjadi arena transaksi kuasa. Bahasa politik memiliki kekuatan membentuk realitas sosial. Namun bahasa politik akan hampa jika tidak ditopang oleh pengetahuan (Bourdieu, 1991:170). Ketika wakil rakyat berbicara tanpa basis literasi, yang lahir hanyalah jargon kosong yang tidak mengubah kondisi masyarakat. Inilah yang membuat rakyat kerap merasa jauh dari wakilnya, karena yang mereka dengar bukanlah solusi, melainkan retorika klise. Kasus penjarahan atas beberapa rumah anggota DPR RI akhir Agustus lalu dapat dibaca dalam konteks ini.
Wakil rakyat bukan hanya representasi politik, melainkan juga representasi moral dan intelektual. Intelektual organik, memakai istilah Antonio Gramsci, adalah mereka yang menyatu dengan masyarakat, memahami problem nyata, dan menyuarakannya dengan basis pengetahuan (Gramsci, 1971:323). Dengan demikian, wakil rakyat ideal merupakan intelektual organik yang mampu menjembatani kepentingan rakyat dengan kebijakan negara. Jika wakil rakyat tidak menulis, tidak membaca, dan tidak mengembangkan gagasan, maka ia kehilangan fungsi sebagai intelektual organik. Ia hanya menjadi “pejabat politik” yang bekerja sekadar memenuhi syarat prosedural demokrasi. Demokrasi tanpa tradisi intelektual semacam ini rentan terjebak dalam oligarki, di mana keputusan politik lebih ditentukan oleh kekuatan modal daripada akal sehat dan pengetahuan (Winters, 2011:25).
Mengatasi problem ini membutuhkan keberanian untuk membangun tradisi literasi di parlemen. Pertama, setiap wakil rakyat perlu diwajibkan memiliki publikasi tertulis, baik dalam bentuk buku, artikel akademik, maupun laporan analisis kebijakan. Publikasi ini menjadi bentuk akuntabilitas pengetahuan. Kedua, parlemen harus menghidupkan kembali perpustakaan legislatif yang bukan sekadar formalitas, melainkan pusat kajian kebijakan yang terbuka bagi publik. Di DPRD Provinsi Maluku Utara beberapa waktu lalu telah ada perpustakaan yang diprakarsai Ketua DPRD Provinsi Maluku Utara, Dr. Syaiful Bahri Ruray, M.Si., entah sekarang bagaimana keadaannya. Ketiga, partai politik sebagai kendaraan utama wakil rakyat juga harus mendorong kaderisasi intelektual. Partai seharusnya tidak hanya menjadi mesin elektoral, melainkan juga ruang produksi gagasan (Mietzner, 2009:57). Dengan begitu, setiap kader yang maju sebagai wakil rakyat memiliki bekal literasi dan basis pengetahuan yang kuat.
Fenomena “wakil rakyat tanpa buku” mencerminkan krisis literasi di tubuh demokrasi Indonesia. Ketika wakil rakyat abai pada buku, maka politik kehilangan arah intelektual, kebijakan kehilangan kedalaman, dan rakyat kehilangan representasi sejati. Demokrasi yang sehat hanya mungkin lahir jika para wakilnya berakar pada budaya membaca dan menulis. Dengan demikian, tugas mendesak hari ini adalah membangun parlemen yang berbasis pengetahuan, bukan sekadar kekuasaan.
Seperti dikatakan Paulo Freire, “membaca dunia sama pentingnya dengan membaca kata” (Freire, 1970:89). Wakil rakyat yang miskin buku tidak hanya gagal membaca kata, tetapi juga gagal membaca dunia rakyat yang diwakilinya. Karena itu, perjuangan demokrasi Indonesia harus dimulai dari membangun tradisi literasi di kalangan elite politik. Tanpa itu, parlemen hanya akan menjadi ruang kosong, penuh kursi, tapi tanpa buku, tanpa gagasan, dan tanpa arah. (*)
Tinggalkan Balasan