Oleh: Ilham Djufri, ST.,M.Kom
Dosen Teknologi Informasi Institut Teknologi Gamalama Ternate
________
GELOMBANG demonstrasi di Indonesia belakangan ini dipicu oleh faktor nyata di dalam negeri yakni kekecewaan publik atas tunjangan DPR RI yang dianggap berlebihan, beban ekonomi akibat kenaikan pajak, pemotongan subsidi, dan sistem kerja yang timpang. Selain itu kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, yang menjadi simbol ketidakadilan aparat terhadap rakyat kecil. Isu-isu tersebut memperlihatkan bahwa akar perlawanan memang riil dan lahir dari ketidakpuasan rakyat. Namun, munculnya narasi tentang “dalang asing” membuka dimensi baru yang lebih kompleks.
Sebelum unjuk rasa besar-besaran yang dimulai pada tanggal 25 Agustus 2025 penggunaan simbol “One Piece” dan Politik Simbolik telah beredar di media soaial dan diberbagai daerah. Penggunaan simbol bajak laut dari anime One Piece (bendera tengkorak-topi jerami) bukan sekadar ekspresi kreatif. Makna lokal yang dapat diambil adalah bagi demonstran muda, simbol ini menggambarkan perjuangan melawan “tirani” dan ketidakadilan.
Sedangkan Makna global menurut analis geopolitik Angelo Giuliano, kemunculan simbol ini juga mirip dengan pola yang dipakai dalam “revolusi warna” di negara lain, di mana budaya populer dimanfaatkan sebagai pemicu identitas kolektif dan solidaritas lintas batas. Artinya, simbol tersebut bisa dibaca sebagai tanda adanya sinkronisasi gerakan dengan pola global yang sering dikaitkan dengan intervensi lembaga-lembaga Barat.
Kaitannya dengan George Soros, NED, dan OSF, dugaan Giuliano bahwa National Endowment for Democracy (NED) dan Open Society Foundations (OSF) milik George Soros terlibat, ini menarik karena sejarah NED sudah lama mendanai media dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia sejak 1990-an. Polanya adalah OSF dikenal mendukung kelompok-kelompok demokrasi dan hak asasi di banyak negara yang kemudian menjadi arena “revolusi warna”.
Agenda globalnya adalah kedua entitas ini dituduh oleh negara-negara non-Barat sebagai instrumen “soft power” Amerika Serikat untuk melemahkan pemerintahan yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington. Jika benar ada aliran dana atau dukungan moral, maka unjuk rasa di Indonesia tidak hanya soal kemarahan rakyat, tetapi juga bisa menjadi bagian dari permainan geopolitik yang lebih besar.
Dimensi Geopolitik Indonesia, BRICS, dan G7
Faktor geopolitik memperkuat dugaan keterlibatan asing: Indonesia baru saja bergabung dengan BRICS dan mempererat kerja sama dengan Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI). Langkah ini jelas tidak sejalan dengan kepentingan G7/Barat, yang melihat Indonesia sebagai kekuatan strategis di ASEAN dengan penduduk 300 juta dan PDB terbesar ke-8 di dunia. Penundaan lawatan Presiden Prabowo ke Beijing akibat kerusuhan memberi sinyal instabilitas domestik dapat mengganggu diplomasi Indonesia yang condong ke blok non-Barat (China-Rusia). Dengan demikian, kerusuhan bisa dibaca sebagai upaya untuk melemahkan posisi tawar Indonesia dalam poros baru global yang menantang dominasi Barat.
Pernyataan Hendropriyono Non-State Actor Asing
Mantan Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, menguatkan dugaan eksternal dengan menyebut ada aktor non-negara yang “menunggangi” aksi protes. Ia menegaskan bahwa aktor ini bukan kepala negara, tetapi berpengaruh dalam menentukan kebijakan negaranya. Tujuannya adalah menjajah dengan cara baru bukan dengan peluru, melainkan dengan destabilisasi demokrasi. Ini sejalan dengan narasi Giuliano maupun Jeff J. Brown yang menyinggung “revolusi warna” ala Serbia.
Menurut saya harus dilakukan analisis kritis, ada hal yang harus dicermati secara tajam, yakni: Isu utama tetap domestik, tanpa kemarahan rakyat atas kebijakan DPR, pajak, dan ketimpangan ekonomi, provokasi asing tidak akan efektif. Narasi asing sering jadi alat politik internal, menyalahkan “dalang luar negeri” dapat digunakan pemerintah untuk menutup kelemahan kebijakan dalam negeri. Bukti konkrit belum ditunjukkan sampai saat ini klaim keterlibatan NED, OSF, atau Soros masih berupa analisis dan tuduhan, belum disertai bukti finansial atau dokumen pendukung.
Tulisan ini membuka perspektif bahwa gelombang unjuk rasa di Indonesia tidak bisa dilihat hanya sebagai ekspresi kemarahan rakyat, melainkan juga berpotensi menjadi arena tarik-menarik geopolitik. Untuk level domestik, rakyat menuntut keadilan sosial dan politik. Level internasional, Indonesia sebagai negara BRICS dan mitra Tiongkok berpotensi menjadi sasaran intervensi “soft power” Barat. Dan Level politik, pemerintah bisa memanfaatkan narasi “dalang asing” untuk meredam legitimasi oposisi, sementara kelompok masyarakat sipil perlu waspada agar gerakan mereka tidak “dibajak” oleh kepentingan luar. Dengan kata lain, unjuk rasa di Indonesia saat ini adalah persilangan antara protes rakyat yang sahih dan dinamika geopolitik global. (*)
Tinggalkan Balasan