Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

_______

“…Rektor ideal merupakan sosok yang mampu menyeimbangkan kekuasaan dengan kebijaksanaan, birokrasi dengan akademik, serta kepentingan kampus dengan kepentingan bangsa” (Quotes)

BEBERAPA waktu lalu, Rektor Universitas Khairun terpilih telah dilantik. Sementara Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dan (kemungkinan) IAIN Ternate dalam waktu yang tidak terlalu lama, juga akan memasuki tahapan penting, pemilihan rektor. Pemilihan rektor ini akan menjadi pusat perhatian warga kampus dan masyarakat yang demikian seksi dan memantik perbincangan luas.

Rektor merupakan figur sentral dalam tata kelola perguruan tinggi. Ia tidak hanya sekadar pemimpin administratif, tetapi juga simbol otoritas akademik dan moral di lingkungan kampus. Dalam konteks Indonesia, posisi rektor kerap menjadi titik pertemuan antara kepentingan akademik, birokrasi negara, dan bahkan tarik-menarik politik. Hal ini menjadikan peran rektor tidak sederhana: ia harus menjadi manajer, intelektual, sekaligus negarawan kampus.

Kampus kerap dipandang sebagai ruang netral dan otonom, bebas dari intervensi politik serta kepentingan ekonomi. Namun, realitasnya berbeda. Kekuasaan di kampus bukan hanya soal relasi hierarkis formal, melainkan juga mencakup wacana, budaya, dan kontrol terhadap pengetahuan. Michel Foucault pernah menegaskan bahwa kekuasaan beroperasi di setiap relasi sosial, termasuk di ruang akademik, melalui disiplin, regulasi, dan normalisasi perilaku (Foucault, 1980 : 102). Dengan demikian, struktur kampus sesungguhnya merupakan arena kekuasaan yang kompleks.

Rektor berada di puncak struktur. Ia memiliki otoritas dalam menentukan arah kebijakan akademik, administrasi, hingga hubungan eksternal kampus. Namun, kekuasaan ini acapkali menghadapi dilema antara menjaga independensi akademik atau memenuhi tuntutan birokrasi negara. Tentang hal ini, ditegaskan H.A.R. Tilaar, perguruan tinggi di Indonesia tidak sepenuhnya otonom karena masih bergantung pada regulasi pemerintah, sehingga rektor sering kali menjadi perpanjangan tangan negara (Tilaar, 2009 : 215, 2009).

Dalam dimensi akademik, rektor diharapkan menjadi teladan intelektual. Ia bukan hanya pengelola administratif, melainkan juga motor pengembangan ilmu pengetahuan dan budaya akademik. Universitas modern, demikian Clark Kerr, memerlukan kepemimpinan yang mampu menyeimbangkan antara “komunitas ilmiah” dengan “organisasi birokratis” (Kerr, 2001 : 72).

Karena itu, seorang rektor memegang peranan strategis dalam: menjamin kebebasan akademik bagi dosen dan mahasiswa; mendorong riset dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat; menjadi wajah moral kampus yang menolak segala bentuk intoleransi dan diskriminasi. Karenanya, kegagalan rektor dalam peran ini dapat berakibat pada menurunnya reputasi dan kualitas akademik universitas. Sebaliknya, rektor yang mampu menghidupkan tradisi akademik justru melahirkan kampus yang progresif.

Selain menjadi pemimpin akademik, rektor juga tidak terlepas dari ranah politik birokrasi. Proses pemilihan rektor di banyak perguruan tinggi negeri, misalnya, masih melibatkan Kementerian Pendidikan, yang memiliki “suara” dalam menentukan siapa yang berhak menduduki kursi rektor. Fenomena ini mengindikasikan adanya “politik kampus” yang berlapis. Untuk pemilihan rektor di perguruan tinggi swasta, masih dipengaruhi struktur yang lebih tinggi di atasnya.

Beberapa ahli menekankan bahwa pemilihan rektor kerapkali menjadi ajang kompromi antara kepentingan akademik dengan kepentingan politik, di mana rektor dituntut untuk menavigasi kepentingan birokrasi tanpa kehilangan idealisme akademik. Di sisi lain, rektor juga harus berhadapan dengan dinamika internal: kelompok dosen, mahasiswa, dan birokrat kampus yang memiliki kepentingan berbeda. Kepemimpinan rektor diuji ketika harus mengakomodasi kepentingan tersebut tanpa mengorbankan prinsip akademik.

Kampus bukan hanya lembaga akademik, tetapi juga institusi sosial yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Karena itu, rektor juga berperan sebagai simbol moral dan sosial. Ia dituntut untuk menyuarakan kepedulian terhadap isu-isu publik, mulai dari demokrasi, lingkungan, hingga keadilan sosial. Sejarah Indonesia mencatat, sejumlah rektor berperan penting dalam pergerakan sosial dan politik, yang pada era reformasi turut menyuarakan pentingnya demokratisasi dan perubahan politik. Hal ini menunjukkan bahwa kampus, dengan rektor sebagai figur utamanya, dapat menjadi pusat moral force dalam kehidupan bangsa.

Saat ini, rektor dihadapkan pada digitalisasi. Dalam era digital saat ini, tantangan rektor makin kompleks. Ia bukan hanya harus mengelola birokrasi konvensional, tetapi juga harus berhadapan dengan transformasi teknologi, komersialisasi pendidikan, serta globalisasi pengetahuan. Rektor harus mampu menjaga agar universitas tidak hanya menjadi “pabrik ijazah,” tetapi juga tetap sebagai pusat kritik sosial dan pengembangan ilmu. Tentang hal ini, Christian Fuchs (2014) menegaskan, kapitalisme digital cenderung mengubah institusi pendidikan menjadi bagian dari industri data dan komodifikasi ilmu pengetahuan (Fuchs, 2014 : 89). Rektor yang visioner harus mampu melawan arus ini dengan membangun budaya akademik yang berorientasi pada kebermanfaatan sosial, bukan semata keuntungan ekonomi.

Rektor merupakan figur yang berdiri di persimpangan antara akademik, birokrasi, dan politik. Ia memegang kekuasaan yang besar di kampus, tetapi sekaligus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga independensi akademik dan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Kekuasaan di kampus tidak dapat dipandang hanya sebagai hirarki administratif, melainkan sebagai arena perebutan makna, nilai, dan visi pendidikan.

Dengan demikian, rektor ideal merupakan sosok yang mampu menyeimbangkan kekuasaan dengan kebijaksanaan, birokrasi dengan akademik, serta kepentingan kampus dengan kepentingan bangsa. Dalam dirinya, rektor merepresentasikan wajah universitas sekaligus cermin masa depan pendidikan tinggi Indonesia. (*)