Oleh: Anwar Husen
Pemerhati Sosial/Tinggal di Tidore, Maluku Utara
_________
“Pengalaman dan kesan lain, bertemu Bupati Kabupaten Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba. Lama tak bersua, komunikasi di WAG terputus. Sedikit mengobrol, beliau menyela meminta saya menyimpan nomor ponselnya. Kuat kesan responsifnya, di benak saya”
SITUASI di Bandar Udara Babullah Ternate, di Ahad pekan kemarin, melengkapi banyak pengalaman dan kesan. Setidaknya, bagi saya dan keluarga.
Mengesankan, karena untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya, menunggu nyaris 10 jam di sana. Dari pukul 13.30, hingga 23.00 Wit. Ya, ketika mengantar sang buah hati, si bungsu yang berencana melanjutkan pendidikan ke Makassar. Karena cuaca yang sedang tak bersahabat, hujan disertai angin kencang, pesawat dari Makassar tujuan Ternate yang sedianya ditumpangi balik ke Makassar pada pukul 14.35, mendarat di Manado. Dan baru bisa balik lagi ke Makassar pada pukul 22.55 Wit, usai angin mereda. Akibat terpaan angin kencang di malam itu, pintu kaca di gate 1 ke arah garbarata, ambruk. Bunyinya yang menghentak bikin kaget dan panik siisi terminal penumpang. Saya memutuskan mundur, membatalkan perjalanan sang buah hati. Banyak juga penumpang yang memutuskan menunda di keesokannya, hingga membatalkan juga. Untuk tiga jam pertama durasi menunggunya, ada konpensasi dari pihak maskapai, kata seorang petugas.
Pengalaman dan kesan lain, bertemu Bupati Kabupaten Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba. Lama tak bersua, komunikasi di WAG terputus. Sedikit mengobrol, beliau menyela meminta saya menyimpan nomor ponselnya. Kuat kesan responsifnya, di benak saya.
Mengingat Kabupaten Halmahera Selatan, saya mengingat Kota Tidore Kepulauan di awal mekar. Saat itu, kota ini dipimpin Wali Kota Achmad Mahifa, dan Halsel dipimpin Muhammad Kasuba, ayah dari sang bupati yang barusan berpapasan tadi. Mereka adalah produk pemilihan langsung kepala daerah pertama kali di 2005. Yang membedakan, Mahifa melanjutkan titik nolnya dari jejak Kabupaten Halmahera Tengah yang beribukota di Tidore kala itu yang pindah ke Weda, Muhammad Kasuba memulainya dari jejak “semak belukar”, Bacan sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Maluku Utara sebelum mekar.
Kini setelah 20 tahun berlalu, Kabupaten Halmahera Selatan bak berlari tak terkejar. Belum lama ini, saat mengobrol dengan sosok Muhammad Kasuba, sang mantan bupatinya, beliau menyodorkan indikator sederhana dan kasat mata perkembangan dan kemajuan sebuah wilayah daerah. Lihat berapa banyak orang yang mendatanginya setiap waktu, mencari pekerjaan, duit. Beliau benar, setidaknya indikator itu adalah pelayaran menuju wilayah Kabupaten Halmahera Selatan yang tampak mencolok di pelabuhan Bastiong, Ternate, di setiap waktu. Itu terhitung sudah puluhan tahun ini. Halsel jadi episentrum ekonomi bagi banyak orang, meniti pekerjaan dan menyemai kehidupannya. Itu fakta paling umum di depan mata yang sulit terbantahkan. Tak butuh banyak detail teori ekonomi.
Apa variabel asumsi paling kuat disini, yang bisa jadi indikator keberlangsungan perkembangan, hingga kemajuan sebuah daerah bisa berjalan “normal”, cenderung bergeser maju signifikan, dan tetap di “rel” yang positif? Bagi saya, sirkulasi pemimpin daerah yang tepat.
Bagaimana memahami logika keberlangsungannya sedikit detail, saya pernah memberi analog dalam konteks sepakbola profesional. Bagi saya, suksesi kepala daerah dalam mengakses kelanjutan dan keberlangsungannya, punya sisi mirip dengan “suksesi” di klub sepak bola profesional, bagaimana memilih pelatih yang tepat.
Saya mengagumi Liverpool, klub Premiere League dalam satu hal yang pernah terlihat, memilih, dan terbukti mampu menyandingkan dua manajernya dalam kelanjutan musim kompetisi yang begitu mirip prestasinya, sebangun dan saling topang. Dan saya sering memberi analog itu dalam beberapa tulisan, suksesi dari Jurgen Klopp ke Arne Slot.
Saya pernah menulis ini: Keputusan Klopp hengkang dari Anfield, membuat manajemen Liverpool bergerak cepat menemukan penggantinya. Banyak figur yang dikaitkan untuk posisi paling “berisiko” ini, setelah Klopp menyodorkan standar tinggi dalam bentuk prestasi dan ekspektasi publik bola. Pilihan itu, akhirnya jatuh pada Arne Slot. Meski reputasi Slot ketika menjadi pemain hingga pelatih, di pandang tak cukup menterang untuk klub selevel Liverpool hingga premiere league, yang dianggap kompetisi paling kompetitif di seantero jagat.
Karir pemain hingga sebagai pelatih, relatif terasa begitu “domestik”, hanya di Belanda. Pada 2017, dia masih sebagai asisten pelatih AZ Alkmaar. Baru di 2019, dia dipercaya sebagai manajer utama di klub itu. Kemudian pindah ke Feyenoord di musim 2021/2022 dan langsung membawa timnya ke final UEFA Conference, yang dikalahkan AS Roma asuhan Mourinho. Di musim berikutnya, dia berhasil meraih trofi Eredivisie dan piala KNVB. Praktis tak terlalu istimewa ekspektasi publik sepakbola umumnya.
Tapi hasil sementara di tahun pertama Arne Slot di liga Inggris, sudah kita tahu. Hingga di pertandingan ke 24, Liverpool secara meyakinkan bertengger di posisi teratas klasemen dengan koleksi 57 poin, terpaut jauh dari rivalnya Arsenal, 7 poin. Di Carabao Cup, Liverpool akan meladeni Newcastle United di partai final nanti. Dan di kasta tertinggi antar klub Eropa, Liverpool sedang bertengger aman di 16 besar sebagai pemuncak klasemen dengan 21 poin, hasil dari 8 kali pertandingan.
Dunia sepak bola profesional, seringkali “aroma”nya berhimpitan dan mirip dengan fakta politik, khususnya pemilihan pemimpin. Lebih sempit lagi, pemilihan kepala daerah. Mengelola institusi induk sepakbola secara nasional hingga klub-klub besar di berbagai kompetisi, mirip mengelola sebuah daerah. Poinnya adalah mengelola mimpi dan ekspektasi publik. Klub-klub besar, bahkan punya aset dan sumber yang lebih besar ketimbang sebuah daerah yang dipimpin kapala daerah di beberapa level.
Jurgen Klopp, sang fenomenal itu, kepergiannya ditangisi jutaan pengagumnya. Dan sejauh ini, Arne Slot telah membuktikan bahwa Liverpool tak salah memilihnya. Meski juga, Slot berpeluang “menguburkan” kenangan manis dan pamor yang ditinggalkan Klopp. Itu karena masing-masing dari mereka telah membuktikan kehebatannya, saling melengkapi, melanjutkan prestasi dan merawat pamor. Jurgen Klopp dan Arne Slot, dua sosok yang bisa di bilang mewakili gambaran ideal, “suksesi” kepemimpinan sebuah organisasi pada sosok yang tepat, saling mengokohkan prestasi dan reputasi.
Liverpool akhirnya jadi juara Premiere League di musim pertama Arne Slot. Itu berarti mempertahankan gelar yang di rebut Jurgen Klopp, pelatih yang telah membayar kontan berbagai gelar Liverpool dalam 9 tahun. Poin lain, Liverpool tak termasuk dalam empat klub paling kaya di Liga Inggris. Artinya, uang bukan segalanya.
Dari kasus Liverpool memilih manager ini, minimal kita belajar bahwa dalam konteks percepatan mengakses kemajuan, memilih kepala daerah yang tepat untuk keberlanjutan itu, teramat sangat penting. Dan uang sebagai variabel pembiayaan daerah itu, bukan segalanya.
Banyak fakta yang berkelindan dan menari-nari di pelupuk mata kita saat ini, visi kepemimpinan, memahami masalah, tahu cara dan memulai dari mana menyelesaikan, itu kompetensi dasar yang amat sangat penting. Sedikitnya, ini gambaran umum dan indikator kualitas kepala daerah: Uang cukup dan kualitas kebijakan hebat, uang cukup tapi kualitas kebijakan payah, uang payah tapi kualitas kebijakan hebat, dan uang payah dan payah juga kualitas kebijakan daerahnya. Bagi saya, urutan katagorisasi, tipikal, hingga kompetensi pemimpinnya: Normal, salah pilih, istimewa dan pasrah. Tidak tepat rencana dan konversinya mengakses kebutuhan dan menyelesaikan masalah, itu defenisi “payah”.
Pekan-pekan terakhir di berita media, banyak daerah berlomba menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan [PBB]. Dari berbagai sumber, kenaikan PBB di sejumlah daerah memicu gelombang protes warga. Di Pati, lonjakan hingga 250% membuat ribuan orang turun ke jalan, hingga DPRD setuju menggunakan hak angket untuk memakzulkan bupati. warga Cirebon menolak kenaikan 1.000 persennya, Jombang memprotes dengan membayar koin, Bone ricuh akibat kenaikan 300 persen, dan Semarang menaikkan tarif di wilayah strategis.
Menaikkan jenis pajak PBB adalah cara kepala daerah yang paling tidak kreatif, tidak populer. Cermin kehabisan akal. Analog, memancing dalam kolam. Sudah tak pandai mengakses kemakmuran warganya, “merampas” lagi makanan di meja makan warga, yang mungkin saja menunya sudah sangat sederhana. Bisa belajar bagaimana seorang Anies Baswedan meletakan aspek filosofi atas pengenaan PBB bagi warganya, semasa menjadi gubernur DKI.
Kita pernah punya memori di Halsel, bagaimana seorang Muhammad Kasuba menelorkan program pendidikan dan kesehatan gratis di periodenya, jauh sebelum program manusiawi ini jadi populer. Juga ada malaria center yang mendunia, dan berbuah award dari WHO, lembaga kesehatan PBB. Juga ada Kebijakan da’i kontrak, yang pernah saya tulis karena tertarik pada aspek filosofinya. Bahrain Kasuba berhasil menata Halmahera Selatan menjadi lebih baik dari aspek perencanaan pembangunan daerah dan meraih banyak pengakuan di sini. Almarhum Usman Sidik, yang tak lama usia kepemimpinannya itu, punya cerita sendiri. Lihat buah tangannya, landmark dan penataan kota, yang nyaris menyedot ratusan miliar itu. Bukan perkara gampang mendatangkan semua itu. Dan ikuti saja, kiprah Hasan ali Bassam Kasuba yang periodenyà masih seumuran jagung ini, tapi meyakinkan. Yang sempat terpublikasi, bergeser dari satu kementerian ke kementerian lainnya membangun jejaring dan mengakses peluang. Ada nafas visi yang kuat, dari mana, bagaimana dan dengan cara apa, mengakses kemajuan daerah dan kemakmuran warganya. Bahwa ada bentuk “privilege” dari gubernur kala itu karena variabel asal daerah, bisa benar. Tapi kelihaian kepala daerah juga sangat penting. Yang pasti, meski wilayahnya cukup luas dan berpulau, penduduknya yang banyak, mereka beruntung punya deretan pemimpin daerah yang hebat, saling menguatkan dalam menata bata demi bata bangunan kesejahteraan dan martabat warganya.
Ketepatan memilih kepala daerah, bisa berbuah keberlanjutan dari legaci baik sebelumnya. Bahkan hingga menjadi dasar dan inspirasi inovasi yang lebih hebat lagi bagi kemajuan di setiap masanya. Sayangnya di Maluku Utara, sangat sedikit daerah yang bisa di bilang “bernasib baik” dalam transisi kepala daerah ini. Dan implikasi buruknya bisa kita lihat, banyak sumber daya yang terbuang percuma, jadi “besi tua” karena tak dianggap pemimpin berikutnya, meski juga belum tentu akan lebih baik.
Di level negara dalam beberapa segi, fakta Indonesia di hari-hari ini, bisa jadi potretnya. Beban bunga hutang yang menggerogoti belanja negara, keterbatasan fiskal membiayai program prioritas pemerintahan saat ini, dampak ekologis masifnya eksploitasi tambang di berbagai sudut negeri ini, hingga macam-macam motif gejolak sosial politik, di tengarai warisan rezim sebelumnya. Terbaru, dan makin melengkapi fakta rentetan warisan buruk yang pernah ada, kemarin [26/8], tempo.co menurunkan laporan, Ancaman Gagal Bayar Utang Kereta Cepat. Utang ini menjadi bom waktu bagi sejumlah BUMN, seperti KAI dan Wika. Ada resiko gagal bayar.
Pelajaran dari suksesi manager Liverpool tadi, yang bukan buah dari “pemilihan langsung”, setidaknya itu bukti kehebatan melihat celah dan mengeksekusi keputusan beresiko seorang pemimpin, tetapi hasilnya akurat dan presisi. Dan kita butuh mendesak, pemimpin daerah yang berlabel “istimewa” bukan “salah pilih”. Di situ poinnya. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan