Oleh: Fandi Arsyad

_______

DI tengah kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan, fenomena dominasi simbolik kian nyata mengemuka. Simbol, baik berupa benda, jabatan, atau status sosial, telah menjadi alat kekuasaan yang kerap disalahgunakan.

Dominasi simbolik bukan sekadar istilah, melainkan cerminan nyata dari ambisi individu atau kelompok yang memanfaatkan posisi, kekayaan, atau pengaruh untuk menindas dan memarginalkan pihak lain.

Fenomena ini mencoreng nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, menciptakan jurang ketimpangan yang kian lebar di masyarakat.

Simbol seperti jabatan tinggi, kekayaan ekonomi, atau prestise pendidikan sering kali menjadi alat untuk mendominasi. Di pedesaan, misalnya, individu dengan kekuatan ekonomi kerap menduduki posisi strategis di instansi lokal, bukan karena kompetensi, melainkan karena ambisi untuk mempertahankan kuasa.

Dengan posisi tersebut, mereka memanipulasi simbol-simbol—seperti gelar, status, atau wacana publik—untuk mengendalikan pikiran masyarakat.

Propaganda negatif pun diciptakan untuk mengdiskriminasi pihak lain, memperkuat hegemoni mereka, dan membatasi ruang gerak kelompok yang dianggap lemah. Contoh nyata dari fenomena ini terlihat dalam dinamika kepemimpinan dalam suatu Instansi, di mana seorang tokoh dengan kekuatan ekonomi memanfaatkan jabatannya untuk mengatur dan menguntungkan diri sendiri dengan menghalalkan segala cara atas tercapainya keinginan yang berlebihan.

Alih-alih memajukan kesejahteraan bersama, mereka justru memperkaya diri dan kelompoknya, sembari menyebarkan narasi yang memojokkan pihak lain. Akibatnya, masyarakat yang menghormati simbol jabatan tersebut terjebak dalam ketakutan dan ketundukan, kehilangan keberanian untuk menyuarakan kebenaran.

Filsuf Yunani kuno, Plato, pernah mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak lahir dari kepuasan hawa nafsu duniawi. Dalam konteks dominasi simbolik, pesan Plato relevan untuk mengkritik mereka yang mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Manusia, sebagai agen pengendali dalam berbagai bidang—ekonomi, politik, pendidikan—seharusnya mengemban tanggung jawab untuk menciptakan kebaikan, bukan mengeksploitasi simbol untuk kepentingan sempit.

Kesenangan sejati, menurut Plato, hanya tercapai ketika manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Menuju Harmoni Sosial

Untuk mengatasi dominasi simbolik, masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif. Pendidikan kritis menjadi kunci untuk membongkar manipulasi simbol dan propaganda yang meracuni pikiran.

Pemimpin, baik di tingkat lokal maupun nasional, harus kembali pada esensi tanggung jawab mereka: melayani, bukan menguasai. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya publik harus ditegakkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Masyarakat juga perlu berani melawan ketidakadilan. Dengan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas, kita dapat menciptakan ruang di mana simbol tidak lagi menjadi alat penindasan, melainkan cerminan kebaikan bersama. Seperti yang diajarkan Plato, kebahagiaan sejati tercipta ketika kita hidup untuk kebenaran, bukan untuk memuaskan ambisi duniawi.

Dominasi simbolik adalah ancaman nyata bagi harmoni sosial. Ketika simbol jabatan, kekayaan, atau status disalahgunakan, masyarakat kehilangan keadilan dan keseimbangan. Namun, dengan kesadaran, keberanian, dan komitmen untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, kita dapat mengubah simbol-simbol tersebut menjadi alat untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis. Mari kita wujudkan dunia di mana kekuasaan bukan untuk menindas, melainkan untuk memajukan kesejahteraan bersama. (*)