Oleh: Irfan Hi. Abd Rahman

Mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin Makassar

________

DI tengah terus memburuknya krisis ekologis akibat tambang di Maluku Utara, Gubernur justru memilih menggelar upacara kemerdekaan di bawah laut biru Ternate. Indah untuk kamera, tetapi jauh dari luka rakyat. Pertanyaannya: apakah ini refleksi kemerdekaan, atau sekadar panggung pencitraan?

Sebagaimana diberitakan Kompas.com (16/8/2025), Pemerintah Provinsi Maluku Utara bersama Wanita Selam Indonesia (WASI) menggelar upacara bendera di bawah laut Sulamadaha, Kota Ternate. Gubernur Sherly Djoanda ikut menyelam, bertindak sebagai pembawa bendera dengan kostum “putri duyung”. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa upacara bawah laut ini menjadi pengingat bahwa perhatian bangsa terlalu terpusat di darat, padahal 70 persen wilayah Indonesia adalah laut, termasuk Maluku Utara.

Sekilas, pernyataan itu terbaca rasional. Namun, Hari Kemerdekaan seharusnya tidak berhenti pada seremoni simbolik. Ia adalah ruang refleksi kolektif untuk menimbang ulang makna kebebasan, meneguhkan tanggung jawab, dan memastikan bahwa kemerdekaan berwujud dalam keadilan bagi rakyat serta kelestarian lingkungan.

Bila cinta laut dan cinta NKRI diekspresikan melalui pengibaran bendera, mengapa Pantai Ternate yang dipilih? Mengapa bukan Teluk Weda, Laut Obi, atau perairan Gebe wilayah-wilayah yang kini rusak akibat aktivitas tambang nikel?

Di kawasan-kawasan itu, laut telah tercemar, hutan dibabat, masyarakat kehilangan ruang hidup, dan nelayan kehilangan hasil tangkap. Bukankah di sanalah Merah Putih seharusnya berkibar, agar simbol kemerdekaan benar-benar hadir di ruang-ruang luka ekologis?

Upacara di titik bencana ekologis akan menjadikan simbol bukan sekadar atraksi, melainkan gerakan moral untuk mengingatkan negara bahwa kemerdekaan tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyat. Sayangnya, Gubernur Sherly lebih memilih laut biru yang aman untuk kamera, bukan laut keruh yang mencerminkan luka lama rakyat.

Dalam perspektif environmental justice (keadilan lingkungan), pilihan lokasi seremoni ini justru memperlihatkan penyangkalan ekologis (ecological denial). David Schlosberg (2007) menekankan bahwa keadilan lingkungan tidak hanya soal distribusi manfaat dan beban, melainkan juga soal recognition pengakuan terhadap penderitaan komunitas terdampak.

Dengan mengabaikan Teluk Weda, Obi, dan Gebe, Gubernur gagal memberikan pengakuan atas penderitaan rakyat yang tanah dan lautnya dirusak tambang.

Amartya Sen (2009) dalam The Idea of Justice menegaskan bahwa keadilan berarti removing manifest injustices menghapus ketidakadilan nyata. Maka, jika laut telah tercemar, hutan telah hilang, dan masyarakat kehilangan ruang hidup, keberanian seorang pemimpin diuji bukan di ruang yang indah, melainkan di ruang yang rusak.

Rob Nixon (2011) bahkan menyebut kerusakan lingkungan akibat tambang sebagai slow violence, kekerasan ekologis yang berlangsung perlahan, menghancurkan hidup rakyat tanpa sorotan publik. Maka, menghindari lokasi-lokasi tambang sebagai ruang perayaan kemerdekaan sama artinya dengan memperpanjang kekerasan dengan senyap.

Upacara 17 Agustus 2025 di Laut Sulamadaha Ternate memperlihatkan betapa kemerdekaan kerap dipentaskan sebagai teater simbolik. Estetika lebih dipilih ketimbang etika, citra lebih diprioritaskan ketimbang keberanian moral malawan setiap jengakal kerusakan.

Gubernur tampak ingin menampilkan diri sebagai sosok yang peduli laut, tetapi memilih ruang aman yang jauh dari luka rakyat. Padahal, kepemimpinan sejati adalah keberanian menatap kenyataan, bukan menyamarkannya dengan panggung indah.

Jika benar pengibaran bendera bawah laut memiliki makna sebagai mana pernyataan Gubernur Sherly maka kita masyarakat Maluku Utara berhak menuntut lebih. Di tahun mendatang, upacara kemerdekaan seharusnya digelar Gubernur langsung di titik-titik luka ekologis di lubang tambang Obi, di Teluk Weda, dan di pesisir Gebe.

Upacara di ruang-ruang itu bukan sekadar seremoni, tetapi sebuah pernyataan politik bahwa negara hadir di tengah penderitaan rakyat. Hanya dengan keberanian itu, Merah Putih akan kembali bermakna, bukan bendera yang ditenggelamkan untuk kamera, melainkan bendera yang berdiri tegak di tanah luka, menjadi janji pemulihan ekologis sekaligus penegasan kedaulatan rakyat.

Sebab kemerdekaan sejati bukanlah sandiwara cinta, melainkan keberanian menghadapi kenyataan dan berani berkata stop segala bentuk pemerkosaan terhadap alam semesta. Waullahualam. (*)