Oleh: Syaiful Bahri Ruray

Mantan Anggota DPR dan Pemerhati Sosial

________

Historia Magistra Vitae,
Sejarah adalah guru kehidupan
(Markus Tullius Cicero)

Prolog

SEBUAH bangsa selalu lahir dari sebuah ide dan imajinasi, sebagai raison d’etre yang mendasari terbentuknya bangsa tersebut. Soekarno menulis Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926)¹, dengan merujuk Ernest Renan dan Otto Bauer untuk berbicara dan berimajinasi tentang nation state Indonesia yang akan terbentuk kelak. Tidak ada bangsa yang terbentuk serta merta tanpa trajektori, atau jalur perjalanan lintasan historisnya sebagai relasi kausalitas antara individu atau kelompok, hingga terbentuknya sebuah negara bangsa. Ben Anderson (1983)² bahkan menyebut bangsa terlahir sebagai bentuk dari imagined communities (komunitas yang terbayang). Savitry Chakravorty Pivak juga menulis tentang Nationalism and the Imagination (2007)³. Ada imajinasi tentang kelompoklah yang membentuk nation, sebagai respon atas tekanan dan persinggungan dengan dengan faktor-faktor eksternal. Faktor ini dalam perspektif studi post kolonial oleh Edward Said, Frantz Fanon, Savitry Chakravorty Pivak, Homi K. Bhabha, para pelopornya, menyatakan bahwa kolonialisme lah yang membentuk nation state negara-negara paska kolonial. Kelak Alain Badiou dan Jacques Derrida juga mengajukan perpesktif yang lebih menyeluruh, as a whole, pendekatan holistik untuk melihat gagasan kebangsaan ini. Namun Edward Said menyatakan negara post kolonial yang terbentuk, merupakan sebuah hibrida dari bentuk interaksi kolonialisme dan bangsa tersebut. Nah, Indonesia pun selaku nation state adalah bentuk perwujudan dari imajinasi kebangsaan sebagai respons dan aksi perlawanan atau resistensi atas imperialisme berbilang abad atas kawasan nusantara. Sejak jatuhnya Malaka ketangan Alfonso de Alberquerque (Portugis) pada 1511, hanya butuh tiga bulan berselang Fransisco Serrao dan Antonio de’Abreau, dengan tiga armadanya tiba di Maluku. Dari sinilah nusantara mulai bersentuhan dengan imperialisme. Nusantara adalah konsep kultural kesatuan budaya multi etnik yang telah berlangsung sejak abad ke 7 era Dinasti T’ang, ketika Nusantara mengenal perdagangan rempah. Sedangkan Indonesia adalah konsep politik, sebagai bentuk dari resistensi atas imperialism. Sebelum kedatangan bangsa Eropa dengan konsep monopoli, exploitation l’homme par l’homme-nya, perdagangan dan relasi antar etnis bahkan agama terjadi dengan damai antara penduduk nusantara. Kawasan ini mencakup jauh hingga Australia, ketika pelaut Bugis Makassar membawa teripang ke Port Darwin dan melakukan barter dengan suku asli kontinen Australia, jauh sebelum Captain Cook menemukan Australia dan menetapkan restriksi atas perdagangan tradisional antar bangsa tersebut.

Masih menurut Edward Said, kolonialisme itu menyisakan warisan yang cukup mendalam pada negara post kolonial dalam membentuk identitasnya sendiri. Kolumnist CNN Fareed Zakaria⁴ dalam Age of Revolutions, Progress and Backlash from 1600 to the Present (2024) memaparkan dunia yang kita diami sekarang adalah warisan dari revolusi ke revolusi yang telah berlangsung berbilang abad.

Indonesia, Negara Post Kolonial

Indonesia yang kita warisi sekarang, juga adalah hasil dari imajinasi para leluhur, yang berproses dalam sebuah melting-pot besar nusantara. Jika tidak dicermati baik-baik maka warisan kolonial akan tetap menghantui mindset publik Indonesia, bahkan motif-motif kolonial akan selalu berlangsung dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai nation state. Misalnya saja asal usul antropologis manusia Indonesia, yang diasumsikan dari Hindia Belakang (Daerah Yunan), hal yang selama ini diyakini benar. Mitos 350 tahun dijajah Belanda, yang juga diadopsi dalam pelajaran sejarah selama kita. Halmana mengenyampingkan jejak Austronesia pada penduduk nusantara. Kajian-kajian terbaru Peter Bellwood, Arysio Santos, Stephen Oppenheimer, membantah akan teori-teori warisan kolonial tersebut. Indonesia selama ini hanya dilihat dari sudut pandang sejarah yang eropasentris juga terbantahkan sejak Sartono Kartodirdjo⁵, yang menulis The Peasant Revolt of Banten (1966). Juga Peter Carey yang banyak mengungkapkan detil sejarah Diponegoro, tidak sebagaimana yang ditulis Belanda semata. Karena Perang Banten dan Perang Diponegoro itu, juga Imam Bonjol, telah turut membentuk konfigurasi sosiologis Indonesia modern. Halmana disebabkan politik isolasionis kolonial terhadap pelaku-pelakunya yang tersebar hingga Ambon, Ternate, Moti, Bacan, Manado, Tondano, Pineleng, Gorontalo, Makassar, Palembang. Kehadiran kamp konsentrasi pertama di dunia tercatat berada di Boven Digoel (1926-1942). Namun sejarah kita lupa mencatat bahwa akumulasi gagasan Islam, nasionalisme hingga komunisme dan sosialisme, terjadi bukan di Batavia, namun di Digoel tersebut⁶. Sejarawan muda Belanda Marjolein van Pagee (2021)⁷ juga baru saja menerbitkan hasil riset tentang tindakan genosida pertama di nusantara, yang dilakukan Jan Pieterzoon Coen atas penduduk Banda, Maluku pada 1621. Coen membantai 15.000 penduduk asli Banda, lalu menawan sisanya yang dibawa ke Batavia sebagai budak. Peter Carey berkesimpulan bahwa Indonesia sekarang adalah hasil dari kontemplasi imajiner Diponegoro sejak muda, diasingkan dari Keraton ke padepokan neneknya di Tegalrejo, hingga terbentuk menjadi santri pejuang. Perang Diponegoro (1825-1830) ini nyaris membuat bangkrutnya kas negara Hindia Belanda. Jalan pintas perundingan curang ala de Kock dilakukan untuk menghentikan hal tersebut.

Demikian juga penyerbuan Sultan Agung ke Batavia sebanyak dua kali, juga adalah hasil dari kontemplasi sang sultan selama berhaji ke Tanah Suci. Islam adalah pihak yang melawan kolonialisme dan imperialism dengan gigihnya. Belanda harus melakukan politik infiltrasi melalui Christian Snouck Hurgronye, untuk menentukan penguasaan atas umat Islam Indonesia. Sebagai orientalis, Hurgronye dan Lodewijk Wilem Christian van den Berg hingga Cornelis van Vollenhoven memanipulasi sejarah Islam di Nusantara, mengatakan Islam berasal dari Gujarat dengan teori Mailkussaleh, Samudera Pasai pada abad ke 13, dan syariat harus diadopsi menjadi hukum adat lokal, barulah dapat dilaksanakan (teori receptio in complexu). Padahal artefak Islam nusantara, telah ada jauh sebelum abad ke 13, yang sering dikaitkan dengan tragedi Karbala tersebut. Misalnya saja petilasan nisan Syekh Imam Sya’ban di Desa Lalantang, Kecamatan Bulagi Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, yang bertarikh sezaman periode Tabiin (168 H/746H), halmana menandai syiar Islam di Sulawesi telah ada jauh mendahului era Wali Songo di Tanah Jawa dan era Malikussaleh di Aceh. Dalam Rihlah Ibnu Batutah (1304-1369), Batutah musafir Maroko ini menulis persinggahannya di nusantara dan mencatat pemukiman Islam di Fakfak Papua, dalam perjalanannya menuju Tiongkok. Batutah lah yang menamai Maluku sebagai Jaziratul Mulk dan Irian untuk Tanah Papua⁸.

Islam dan Kemerdekaan

Akan halnya kemerdekaan Indonesia dan Islam, adalah two side of the same coin, dua sisi mata uang. Mari kita cermati Risalah Sidang BPUPKI/PPKI terbitan Sekneg RI (1959)⁹, semua perdebatan paling sengit adalah soal penetapan teritorial Indonesia. Ir. Soekarno, Mr. Mohamad Yamin, Abikusno Tjokrosuyoso, Ki Hadi Bagus Kusumo, KH Agus Salim, Mr. R. Soepomo, berdebat sengit mempersoalkan batas-batas negara yang akan dimerdekakan kelak. Bung Hatta mengusulkan Indonesia hanya sebatas Halmahera, karena berbasis antropologis Melayu-Polinesia. Soekarno bahkan menghendaki Indonesia adalah perwujudan masa lalu nusantara yang mencakup Hindia Belanda, Brunei, Malaysia hingga Filipina. Sejarawan Prof Anhar Gonggong dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa Indonesia itu bukanlah negara Negara Melayu (Melayu Polinesia), sebagaimana halnya konsep nation state Malaysia. Karena ada wilayah-wilayah provinsi Melanesia di NTT, Maluku hingga Papua. Bahkan riset DNA atas penduduk Indonesia terbaru, oleh Lembaga Eijkman (Prof.Dr.dr. Herawati Sudoyo dan Prof Sangkot Marzuki, PhD) menyimpulkan bahwa pemilik DNA tertua penduduk nusantara adalah penduduk Papua dan Alor. Hal ini membantah konsep migrasi Austronesia warisan kolonial Belanda yang hanya berbasis asumsi, tentang Hindia Belakang (Yunan), karena secara etnolinguistik, Yunan terbukti tak terkait dengan penduduk Indonesia sama sekali. Prof. Mahsun (2010)¹⁰, seorang ahli Antropologi-Genolinguistik menyebutkan Indonesia itu menjadi sebuah kesatuan integral karena aspek bahasa, walau terdiri dari 1.340 lebih sub-etnik dengan 718 bahasa daerah, namun ada sebuah ikatan linguafranca yang menjadi pengikatnya. Alm. Cak Nur berkali-kali menyatakan untung saja Sumpah Pemuda 1928 menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, bukan bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat (kromo inggil, kromo madya, dan ngoko) tersebut. Karena konsep demokrasi egalitarian nation state Indonesia, terbentuk karena soal bahasa. Karena faktor bahasa Indonesia yang egaliter dan demokratis, tidak bertingkat-tingkat dalam sebuah tatanan feodalistik, ungkap Cak Nur.

Jika sekadar mewarisi politik kolonial Belanda maka stratifikasi sosial akan berlaku sebagaimana pasal 132 dan 162 Regering Reglement dan Indische Staatsregering, tentang Bevolkingsgroep, yang membagi 3 stratifikasi sosial Hindia Belanda tersebut. Pribumi atau inlander adalah golongan terendah. Sementara Islam melarang keras akan hal tersebut. Perlawanan dari ujung ke ujung Hindia Belanda adalah hasil resistensi Islam atas kolonialisme. Prof. G.J. Resink (1968), juga menemukan bukti lain yang membantah mitos penjajahan 350 tahun oleh Belanda, setelah meneliti keputusan-keputusan Landraad Hindia Belanda¹¹. Hal yang sama pernah ditulis jurnalis Radio Hilversum Belanda, Joss Wibisono yang menetap Belanda.

Merdeka, Tidaklah Serta Merta

Bahwa paska Proklamasi 17 Agustus 1945, yang bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadhan 1367 H tersebut, Indonesia juga tidak serta merta terbentuk sebagaimana apa adanya hari ini yang kita warisi. Karena perlawanan kolonial masih berlangsung dengan politik divide et impera-nya. Indonesia masih diserbu Pasukan Inggris yang ditumpangi NICA. KH. Hashim Asyari menerbitkan Resolusi Jihad, untuk melawan pendudukan Inggris tersebut. Berlanjut Agresi Militer Belanda terjadi dua kali, pada 1947 dan 1948. Belanda mengerahkan 200.000 pasukan militernya untuk menduduki Indonesia. Perlawanan dilakukan oleh kalangan Islam, yang membentuk Lasykar Hisbullah dan Lasykar Sabilillah oleh KH. Wahid Hasyim, hingga membentuk BKR yang dipimpin Mr. Kasman Singodimedjo, seorang aktivis Jong Islamieten Bond (JIB) mahasiswa kedokteran STOVIA, namun ia beralih ke Recht Hooge School (RHS) dan memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr). Kasman ditunjuk sebagai Komandan BKR (Badan Keamanan Rakyat), dengan kepala staf adalah Daan Jahya, dan wakil kepala staf BKR adalah Soebianto Djoyohadikusumo. Mr. Kasman Singodimedjo sendiri adalah anak didik HOS Tjokroaminoto, KH. Agus Salim dan KH. Ahmad Dahlan pada JIB (Jong Islamieten Bond). Ia juga tercatat sebagai Anggota Panitia 9 yang menyusun Konstitusi Negara UUD 1945, Ketua KNIP Pusat sebagai lembaga parlemen pertama Indonesia Merdeka, dan Jaksa Agung pertama Republik Indonesia.

Dari BKR inilah menjadi cikal bakal TNI setelah berproses menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI (Tentara Republik Indonesia), ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), hingga menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) sekarang ini. BKR sendiri dibentuk untuk melawan upaya rekolonisasi Belanda atas Indonesia sebagai negara merdeka. Karena Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati yang difasilitasi Inggris, juga Perjanjian Renville yang difasilitasi Amerika Serikat, dan dengan sendirinya mengkotak-kotakkan wilayah Indonesia. Dan pada daerah-daerah vakum itu, juga terjadi perlawanan bersenjata oleh kalangan Islam, sebut saja kasus Sekar Maridjan Kartosoewiryo di Jawa Barat (Darul Islam), yang terjadi karena kekosongan pasukan Siliwangi karena dipaksakan untuk mematuhi Perjanjian Renville dan harus melakukan long-march dari Jawa Barat ke Jogjakarta. Gubernur Jenderal Hubertus Van Mook juga melakukan upaya berdirinya negara-negara etnik untuk tujuan divide et impera-nya. NIT misalnya dibubarkan pada Konferensi Malino pada 16-25 Juli 1946, setelah keberatan yang dilakukan oleh dr. Chasan Boesoieri dan Salim Fabanyo dari Ternate yang mewakili 6.000 rakyat Maluku Utara saat itu. Dilanjutkan lagi pada Konferensi Denpasar pada 7-24 Desember 1946), dimana Sultan Zainal Abidin Syah dari Tidore menolak negara-negara etnik bentukan van Mook ini. Akhirnya atas desakan PPB, dilakukan KMB (Konferensi Meja Bundar), Den Haag (27 Desember 1949). Itupun menyisakan catatan pahit karena Belanda masih menduduki Irian Barat hingga memicu Soekarno mencetuskan TRIKORA (1961) dan melaksanakan Operasi Mandala. Belanda terpaksa menyerahkan Irian Barat ke Indonesia melalui PBB (UNTEA) melalui New York Agreement 15 Agustus 1962. Hingga PEPERA 1969 barulah Indonesia benar-benar menguasai tanah Papua. Inipun masih menyisakan warisan luka kolonial yang belum juga habis-habisnya hingga sekarang, yakni kasus OPM yang dibentuk Belanda pada 1963 sebagai pengingkaran nyata atas hasil KMB Den Haag 1949, dan Indonesia diwajibkan membayar hutang kemerdekaan 4,5 milyar Gulden yang pada awalnya Belanda meminta 6,5 milyar Gulden, jika dikonversi pada 2020 setara dengan Rp 504 Trilyun, dan baru dilunasi Pemerintah Indonesia pada 2003. Hal yang sejak dikritisi oleh Tan Malaka disebut sebagai logika perampok, karena tuan rumah diwajibkan harus membayar ganti rugi kepada perampok yang gagal merampok rumah kita.

Di Belanda sekarang, aktivis Jeffry Pondaag dan Dr. Batara Hutagalung, membentuk Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang menggugat pemerintah Belanda agar membayar ganti rugi kepada Indonesia akibat penjajahan dan genosida serta aksi-aksi pembantaian dan kejahatan perang lainnya yang dilakukan Belanda. Dalam arsip militer Belanda selama kurun waktu dua kali Agresi Militernya telah menewaskan warga negara Indonesia sebanyak 97.421 nyawa yang melayang. Ada juga sejarawan Swiss-Belanda Remy Limpach (2016)¹², juga membongkar beberapa aksi brutal militer Belanda semasa paska kemerdekaan Indonesia dalam riset disertasi doktoralnya. Di Belanda, hasil riset sejarawan Marjolein van Pagee, dan Remy Limpach ini, sangat mengguncang publik Belanda. Karena selama ini, terindikasi sangat kuatnya manipulasi sejarah yang serba Eropasentris, yang dilakukan negara-negara kolonial atas wilayah-wilayah jajahannya. Jurnalis perang Belanda Piet J. Hagen (2022)¹³, mencatat dalam kurun waktu 1510-1975, Indonesia itu telah mengalami lebih dari 500 kali perlawanan brutal bersenjata atas kolonialisme. Piet menuliskan buku tebalnya yang mengungkapkan sisi gelap dan buasnya penindasan Eropa atas bangsa Indonesia, demi kejayaan bangsa Eropa sendiri. Belanda (Eropa) itu berjaya di atas darah dan nyawa bangsa nusantara.

Epilog

Apa yang kita sedang lihat sekarang, bahwa Indonesia, sebagai post-colonial state, belumlah selesai menyelesaikan sisa-sisa warisan kolonialnya. Karena catatan terbaru, banyak mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat para pelaku kejahatan perang yang dilakukan militer Belanda, termasuk genosida di Indonesia, baik selama periode penjajahan, maupun paska proklamasi. Misalnya saja kasus Pembantaian Rawagede pada 9 Desember 1947, yang dilakukan Pasukan Belanda pimpinan Mayor Alphons Wijnen (1912-2001), karena gagal menemukan pemuda pejuang Lukas Kustaryo (1820-1997) yang berkali-kali berhasil melakukan serangan mematikan dan aksi sabotase kereta api logistik militer Belanda. Kasus ini berhasil digugat pada Pengadilan Belanda (2011) oleh Jeffry Pondaag. Peristiwa ini menewaskan 431 nyawa rakyat sipil non combatant. Jeffry Pondaag menyewa lawyer Belanda Lizbeth Zegveld untuk gugatan ini. Dan bukan hanya Belanda, Tim Hannigan (2015) mengungkapkan bahwa Inggris juga selama pendudukan di nusantara (1811-1816), melakukan perampokan besar-besaran atas Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Tim Hannigan juga mengungkapkan sisi lain Raffles, yang tidak sehebat apa yang kita kenal. Raffles yang awalnya dari London akan ditugaskan di Ternate, namun oleh Lord Minto di Goa, India, diubah untuk bertugas sebagai Letnan Gubernur Inggris di Jawa¹⁴. Peter Carey dan Farish A. Noor¹⁵ juga mencatat kekerasan kolonial dan rasisme pada periode 1808-1830 yang dilakukan baik oleh Belanda maupun Inggris di Indonesia.

Pastor Karel A. Steenbrink (1993)¹⁶, dalam disertasi doktornya tentang korelasi Islam-Kristen di Indonesia, menyatakan paska kemerdekaan, kebijakan negara, terlihat masih mewarisi motif-motif kolonial Belanda, khususnya perlakuan terhadap umat Islam. Steenbrink juga mengungkapkan perlawanan umat Islam Indonesia, telah terjadi sejak awal kehadiran VOC di Maluku. Jan Pieterzoon Coen bahkan menuliskan dua surat permohonan kepada Dewan XVII (De Heeren Zeventien), Dewan Direksi VOC, untuk memindahkan ibukota VOC dari Ternate ke Batavia (1619). Coen tak kuat menghadapi ketidakpatuhan rakyat Maluku kepada VOC, karena rakyat lebih memilih perdagangan bebas rempah-rempah dengan para pedagang Jawa, Melayu, China, Arab dan Gujarat (India), yang telah lama berinterkasi dengan penduduk lokal nusantara, jauh sebelum tibanya bangsa Eropa pada 1511 tersebut. Perlawanan atas monopoli ini, semua dilakukan oleh umat Islam Nusantara sejak awal. Perlawanan inilah yang kelak menjadi raison d’etre dan imaji awal bagi para the founding fathers untuk membentuk nation state Indonesia. Nah, pada era serba krisis dewasa ini, manipulasi sejarah adalah bagian penting yang dijadikan senjata dalam perang proxy untuk mengaburkan identitas sebuah bangsa, agar mudah dikuasai, tanpa letusan senjata. Juri Lina (2004)¹⁷, aktivis jurnalis Estonia, menyatakan ada 3 cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negara:

  1. Kaburkan sejarahnya agar tak dapat ditelusuri lagi
  2. Hancurkan bukti-bukti sejarah bangsa itu agar tak bisa diteliti dan dibuktikan
  3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, dengan mengatakan leluhur mereka bodoh dan primitif.

Untuk itu, pelurusan sejarah menjadi qonditio sine quo non bagi kita, untuk tidak terperangkap pada kepentingan asimetris perang proxy tersebut. Merujuk Jeremy Rifkin (2009)¹⁸, kita butuh emphatic civilization, untuk keluar dengan selamat dari jebakan krisis global saat ini. Jika tidak, publik akan terbiasa menyaksikan apa yang setiap hari, terkooptasi pada fenomena Simulakra sebagai hiper-realitas semu yang menipu, sebagaimana yang diungkapkan sosiolog Jean Baudrillard. Bisa jadi, ini pintu masuk pada sebuah banalitas kejahatan, mengutip diksi Hannah Arendt (1964)¹⁹.

Akhirul kalam, MERDEKA bukanlah sesuatu yang taken for granted, karena merdeka belumlah benar-benar selesai. Betapa banyaknya detil dan catatan sejarah, terutama kontribusi Islam atas terbentuknya imaji awal sebagai raison d’etre terbentuknya nation state Indonesia, belum benar-benar diluruskan. Sebaliknya jika tak diluruskan, manipulasi sejarah bermotif ala kolonial ini akan dianggap sebagai sebuah kebenaran dalam mindset publik manusia Indonesia. Ada proses pembodohan yang sistematis masih berlangsung, mirip sketsa John C. van Dyke²⁰ yang menggambarkan kawula pribumi kita yang bodoh dan malas. Dikarenakan kekuasaan lokal, terbanyak adalah pusat-pusat kekuasaan, termasuk lembaga pendidikan dan tradisi yang bercorak Islam, telah dimarginalisasikan oleh kekuasaan kolonial secara sistematisnya. Memang saat Van Dyke mengunjungi Ternate (1926), Sultan Ternate Muhammad Oesman Syah, tak lagi berkuasa karena kekuasaanya telah dianulir Belanda sebagai dampak pemberontakan Banau di Jailolo yang menewaskan Kontroler Agerbeek, Letnan Ouwerling serta beberapa serdadu Belanda di Jailolo pada kurun waktu 1914-1915. Sultan Ternate berserta keluarga pun diasingkan ke Bandung pada 1914-1933. Sehingga kedaton pun sepi dan berdebu, karena kevakuman kekuasaan kesultanan saat dikunjungi Van Dyke. Kolano Muhammad Oesman Syah dituduh mendalangi pemberontakan Banau oleh Belanda karena sikap sang sultan yang enggan tunduk pada Belanda yang mewajibkan rakyat Maluku Utara untuk membayar ‘belasting’ (wajib pajak). Sultan yang lebih akrab dipanggil Jou Haji ini, hanya menganjurkan rakyatnya untuk tetap membayar zakat, bukan belasting kata Jou Haji²¹. (*)

 

Referensi

  1. Ir. Soekarno. Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Di Bawah Bendera Revolusi. Jilid I (1964). Jakarta
  2. Benedict Anderson (2002). Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang. INSIST Press dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta
  3. Savitry Chakravorty Pivak. Nationalism and the Imagination (1997)
  4. Fareed Zakaria. Age of Revolutions. Progress and Backlash from 1600 to the Present. W.W.Worton & Company. NY (2024)
  5. Sartono Kartodirdjo (1966). The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel. A Case of Study of Social Movements in Indonesia. Leiden, NL
  6. Takashi Shiraishi (2001). Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial. LKIS. Yogyakarta
  7. Marjolein van Pagee (2021). Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterzoon Coen. Komunitas Bambu. Depok
  8. Noel Q. King & Albion M. Butters (2018). The Travels of Ibnu Battuta to India, the Spice Islands, and China. Markus Winners Publishers. NJ
  9. Risalah Sidang BPUPKI/PPKI (1959). Sekretariat Negara RI. Jakarta
  10. Prof Dr. Mahsun, M.S (2010). Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
  11. G.J. Resink (2022). Bukan 350 Tahun Dijajah. Komunitas Bambu. Depok
  12. Remy Limpach (2016). Kekerasan Ekstrim Belanda di Indonesia. Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
  13. Piet J. Hagen (2024). Perang Melawan Penjajah dari Hindia Timur sampai NKRI 1510-1975. Komunitas Bambu. Depok
  14. Tim Hannigan (2012). Raffles and the British Invasion of Java. Moonsoon.UK
  15. Peter Carey & Farish A. Noor (2022). Ras, Kuasa, dan Kekerasan Kolonial di Hindia Belanda, 1808-1830. KPG Jakarta
  16. Karel Steenbrink (1993). Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia (1596-1942). Penerbit Gading. Jogjakarta
  17. Juri Lina (2004). The Architect of Deception. The Secret History of Freemasonry. Stockholm
  18. Jeremy Rifkin (2009). Emphatic Civilization: The Race to Global Consciouness in a World in Crisis. Penguin Group (USA) Inc. New York
  19. Hannah Arendt (2012). Eichmann in Jerusalem. Reportase tentang Banalitas Kejahatan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
  20. John C. Van Dyke (2025). Menjelajahi Pulau-Pulau Koloni Hindia Belanda. Hal-Hal yang Saya Lihat dan Kagumi di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Yogyakarta
  21. Irza Arnyta Djafaar (2005). Dari Moloku Kie Raha Hingga Negara Federal. Biografi Politik Sultan Iskandar Muhammad Djabir Sjah. Bio Pustaka. Yogyakarta.