Tandaseru — Komisi IX DPR-RI memastikan akan ada revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Ini disampaikan anggota Komisi IX DPR-RI, Obon Tabroni saat bersama 11 rekannya se-komisi melakukan kunjungan kerja reses di Kota Ternate, Maluku Utara, Senin (11/8).

Obon menyebutkan, revisi undang-undang yang mengatur keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ini selain karena sudah 55 tahun belum direvisi, juga karena adanya dinamika perubahan teknologi.

“Ada beberapa hal dilakukan poin revisi, yang pertama terkait dengan sanksi,” ucap Obon.

Politikus Gerindra ini menyebutkan, dalam revisi sanksi akan berlaku bagi perusahaan yang enggan menerapkan norma K3. Seperti persoalan safety dan lain sebagainya.

Sedangkan di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, sanksi bagi perusahaan yang enggan menerapkan norma K3 hanya disanksi denda Rp 200 ribu.

“(Denda) itu kan sudah ketinggalan. Kemudian juga teknologi kan berubah teknologi berubah harus dibarengi dengan perubahan dari undang-undang,” cetusnya.

Khusus yang dilakukan di Maluku Utara ini, sambung dia, perusahaan harus membekali karyawannya dengan pengetahuan tentang dampak dan bahaya kaitan dengan instrumen peralatan mesin yang dioperasikan.

Karena baginya, kasus K3 juga bisa disebabkan adanya faktor kesalahan manusia yang tidak paham atau lalai dalam melaksanakan pekerjaannya.

Selain itu ada juga karena faktor metode kerja. Pada faktor ini bukan metode kerjanya yang disalahkan melainkan yang membuat metode tersebut.

“Dan yang ketiga mesin. Mesinnya sesuai standar gak? Jadi kita berbicara K3 itu memang kelihatan sederhana tapi sebenarnya banyak persoalan dan banyak aspek yang harus diurai satu persatu,” cetusnya.

Selain persoalan K3, Obon menyebutkan ada persoalan mendasar yang harus dilihat untuk Maluku Utara yakni upah pekerja.

Pekerja di sektor pertambangan dengan risiko kerjanya yang tinggi, kemudian perusahaan tambang dengan potensi bisnis yang bagus maka upah karyawannya, kata Obon, tidak harus sama dengan perusahaan kecil seperti pabrik pengolahan ikan atau dengan menggunakan standar upah minimum.

Untuk itu, saat diskusi terbatas dengan berbagai stakeholder terkait dalam kunjungan kerja ini, dia mengusulkan agar upah karyawan tambang harusnya upah sektoral.

“Harus kedepannya itu dicarikan upah sektoral. Perusahaan yang mampu upahnya harus tinggi, tadi disampaikan mereka (perusahaan tambang) mampu di angka Rp 7 juta (perbulan). sementara ada perusahaan yang mungkin hanya mampu dengan Rp 3 juta,” jelasnya.

DPR-RI lanjut dia, akan berbicara dalam konteks regulasi yang sifatnya makro dan selanjutnya secara teknis pengawasan mengenai upah ada pada pemerintah daerah.

“Pengawas itu bagian dari pemerintah daerah yang tadi jumlahnya kalau tidak salah ada empat atau berapa. Maka tambah itu pengawas, itu kewenangan pemerintah daerah kemudian bagaimana kewenangan kabupaten kota? merekomendasikan upah gubernur, kami bicara payung hukumnya,” tutup Obon.

Untuk diketahui, selain Obon Tabron, ada 11 anggota Komisi IX DPR-RI yang melakukan kunjungan kerja reses ke Maluku Utara.

Mereka di antaranya, Felly Estelita Runtuwene, Eko Kurnia Ningsih, H. Ahmad Safei, Ravindra Airlangga, H. Tubagus Haerul Jaman, Nurhadi, H. Asep Romy Romaya, drh. H. Achmad Ruyat, Dr. H. Muh. Haris, Dra. Lucky Kurniasari, dan Tutik Kusuma W.

Ardian Sangaji
Editor
Ardian Sangaji
Reporter